Kami saling melepas diri setelah sadar akan bunyi ketukan pada pintu yang nyaris menggema, disambung dengan suara amat sopan dari seorang wanita yang menurut ku sudah paruh baya dari arah pintu.
"Tuan muda, makan malam sudah siap, " ujarnya sangat pelan seperti takut mengganggu sang majikan.
Aku melihat Jungkook mendesis kecewa sesaat sebelum mengatakan dengan suara tak kalah pelan, "ya ampun, mengganggu saja. "
Aku melotot. Tak senang mendengar respon yang sangat tak bersahabat dari belah bibirnya. Aku tak begitu munafik, memang menganggu, ku akui itu. Tapi perut ku bahkan merespon dengan sangat baik. Lantas aku mendorong tubuhnya agar segera beranjak dari tubuh ku.
"Jangan begitu, ayo turun. Lagi pula aku sangat lapar. "
Aku jadi merasa malas pulang kerumah, ingat akan Jimin yang tentu telah menyiapkan ribuan pertanyaan pada ku. Dan mengingat Taehyung, bagaimana jika lelaki itu menceritakan segalanya pada kakak ku. Meski jika dilihat memang murni pihak yang bersalah adalah dirinya sendiri, tapi ku yakin Taehyung pasti menceritakan hingga detail, kemudian aku lah orang yang akan mendapatkan renungan sampai beberapa jam ke depan oleh Park Jimin seakan semua kesalahan ada padaku.
Kehidupan ku tak menarik, sangat membosan kan, sampai aku berpikir aku tak punya privasi sedikit pun. Aku ingin bebas. Sangat.
"Tuan muda, apakah saya perlu menyiapkan kamar untuk kekasih tuan? "
Kepala ku sontak menoleh pada salah satu wanita yang sepertinya adalah juru masak di 'istana' ini, atau mungkin kepala pelayan, entahlah. Mereka tak memakai identitas atau semacamnya, semuanya berpakaian hitam dan putih.
Aku menggeleng sambil tetap tersenyum, buru-buru menyahut sebelum Jungkook mengatakan sesuatu yang tak ku inginkan, "Tidak usah bibi, lagipula aku akan segera pulang setelah ini. "
Jungkook mendengus tak suka, membuat ku mau tak mau jadi memutar mata malas dan tersenyum canggung pada pelayan yang kini tengah menuang air dalam gelas didepan ku.
"Ini sudah sangat larut, tinggalah disini. Tak usah sungkan, anggap saja rumah sendiri. Mereka akan menyiapkan segalanya jika kau membutuhkan sesuatu. "
Aku menoleh kala seseorang selain kami berbicara dengan sangat lantang, bersamaan dengan suara pantofel yang beradu bersama kerasnya marmer. Lelaki tinggi berbalut setelan jas lengkap bersama tas kantoran dan sepatu kulitnya yang mengkilap. Aku tak berkedip. Ini kejutan, aku pernah melihatnya beberapa kali. Ia tersenyum menatap ku yang tengah memegang pisau dan garpu dikedua tangan. Aku tersenyum kala tangan lebarnya dengan berani mendarat dipermukaan rambut ku kemudian mengusaknya gemas.
"How are you, dear? "
Dan aku tersenyum lebih lebar lantaran melihat pipinya membentuk sebuah cekungan yang selalu menjadi ciri khas untuk ku ingat. Paman berlesung pipi. Dia teman ayah–oh, tidak, tidak, aku baru ingat jika sebenarnya lelaki ini adalah sahabat Jimin, kakak ku.
Aku beranjak dari duduk ku, kemudian memeluknya karena rindu. Dulu dia sering datang dan menghiburku dengan puluhan coklat. Tapi tidak lagi, semenjak semua orang mendadak sibuk.
"Ck, Hyung! " kekasih ku menatap kami tak senang. Kekasihku? Oh god, aku jadi malu. Dan kembali, bola mata ku sontak berputar jengah, kemudian dengan berat aku melepaskan pelukannya.
"Aku sangat baik, bagaimana kabar mu, oppa? "
"Aku sangat sibuk, " ia terkekeh kecil, berjalan mengintari meja makan dan berhenti pada kursi di depan ku. Seingat ku, dulu ia tak setinggi itu.
Pantas saja, ia sudah tidak lagi datang selama dua tahun terakhir. Aku juga baru tau jika ia adalah seorang pengusaha. Bukan apa-apa, ia bahkan belum pernah menceritakan perihal adiknya padaku. Sekarang aku berpikir dunia ternyata sempit sekali. Lalu, bagaimana dengan Jimin jika ia tau aku adalah kekasih dari adik sahabatnya.
Puluhan menit berlalu, tak ada yang istimewa selain menu yang benar-benar lezat, dan hanya sekedar perbincangan melepas rindu. Jika ku perhatikan, mereka jarang sekali berbicara satu sama lain. Jungkook hanya akan mengangguk atau menggeleng jika mendapat pertanyaan dari kakaknya, tak ada hal lain sampai kegiatan makan usai. Selepasnya, Namjoon oppa pamit untuk istirahat dan juga menyuruhku untuk tetap tinggal sampai esok. Aku bahkan menolak dengan ribuan alasan, namun ia menutupnya dengan berkata bahwa ia sendiri yang akan menghubungi kakakku. Tak ada yang bisa ku lalukan, lagi pula ini sudah sangat larut dan aku malas untuk pulang.
Ah, akhirnya. Setidaknya aku bisa mengundur waktu untuk mendengar ocehan Jimin besok pagi.
Dan sekarang, apa yang harus ku lakukan?
Jungkook tak meminta pelayan menyiapkan kamar untuk ku, aku bahkan tak berani mengatakannya, ia masih sangat fokus pada layar ponsel yang ku rasa sudah sejak satu jam yang lalu ia mainkan, mengabaikan ku bersama dengan layar televisi yang dibiarkan menyala.
Dengan pahaku yang menjadi sasaran kepalanya untuk berlabuh, membuatku sedikit gatal untuk tak memainkan rambutnya. Aku menyukainya. Hitam, benar-benar hitam sempurna. Gaya rambutnya selalu membuat ku tergoda. Wanginya membuat ku mabuk, namun tak ku pungkiri, aku selalu ingin menghirupnya setiap saat.
Hari semakin larut, acara televisi tak ku hiraukan. Jungkook masih saja betah dengan gamenya yang entah membuat ku berpikir apa asiknya hingga mengabaikan ku selama hampir dua jam. Aku semakin mengantuk, namun ia tetap tak mengubah posisi nya sejak awal, berbaring dengan pahaku sebagai bantal kepalanya. Ah, lelaki ini benar-benar.
Jari ku tergerak saat melihat poni rambutnya yang hampir mencolok ke mata. Membuat ku gemas, lantas menyingkapnya dari sana. Barulah, setelahnya Jungkook sadar akan atensi ku. Apa-apaan ini, ia terlalu nyaman dengan pahaku? Atau belaian rambutnya karena tangan ku? Membuat ku jengkel setengah mati.
Ia tersenyum lebar, mengantongi ponselnya disisi depan saku celana, menatapku dengan matanya yang bulat tanpa mau beranjak sedikit pun untuk duduk, kurasa paha ku mulai keram karenanya. Dasar kelinci nakal.
"Kau tidak mengantuk? Aku menunggu mu, tapi kau belum juga mengajak ku tidur."
"Apa?! " aku memicing tak senang, terkejut tentu saja.
Oh, lord. Aku mati-matian untuk tak bicara karena takut mengganggunya, tapi-apa yang ia katakan.
Alisnya menyatu, tak paham akan respon ku yang sepertinya terlihat berlebihan.
"Oh ya tuhan, jangan bilang kau menunggu ku? " ujarnya.
Dan kini, aku benar-benar mengutuk karena seharusnya sejak satu jam lalu aku mengatakan padanya bahwa aku ingin tidur.
Jungkook duduk dengan tergesa, dan seperdetik berikutnya aku kembali dibuat terkejut karena tubuh ku tiba-tiba melayang dari atas sofa.
Aku mengalungkan lengan pada lehernya, melihat kearah tangga yang menjadi jalan menuju ruang kamarnya yang belum lama ku tempati sore tadi.
"Kau mau membawa ku kemana, Jeon Jungkook? "
Lelaki ini terhenti, tepat sekali didepan pintu. Membenarkan posisi ku pada kedua lengannya seraya menatap ku lantas mengecup kedua kelopak mataku dengan lembut.
"Tentu saja kekamarku, kau harus tidur. "
Bukan itu Jeon Jungkook, maksudku jika aku tidur dikamar mu, lalu kau tidur dimana? Dikamar tamu? Aish, Konyol[]...
KAMU SEDANG MEMBACA
I Choose You [JK][M]
Fanfiction"Kehidupan ku terlalu rumit, bahkan lebih rumit dari puluhan rubik yang terputar acak. Hingga aku kembali jatuh cinta dan membuang seluruh fantasi ku, ia kembali datang dan merubahnya. Kehidupan ku kembali berputar, dan kini, ia adalah obat dari ras...