#20

134 15 1
                                    

“Jung—”

Sentuhannya tak pernah ku bayangkan, namun kala jemarinya berdiam didalam ku, aku begitu ingin lebih. Ingin dipuaskan lebih dari ini. Ia mendorong ku lebih erat, kembali mengeksplor sekitar collarbone ku.
Jemari yang beberapa sekon lalu hanya diam, kini tengah bekerja mencari titik sensitif yang membuat ku menggelinjang tak karuan. Aku tak pernah merasakannya.

Napas ku memberat, meracau tak tenang saat merasa sesuatu masuk didalam sana. “jungkook, sakit—”

Jungkook kembali pada bibir ku, melumat dan mengigitnya sesekali. Aku tak tau kami akan berakhir didalam apartemen seperti ini, ku pikir ia akan membawa ku pulang kemudian semuanya akan berakhir seperti yang ku minta. Akan tetapi itu hanya jalan pikiran ku yang kacau sampai tak sadar ia membawa ku menuju jalan yang berbeda dari arah pulang.

Ia bahkan tak mengatakan apa pun, hanya menarik tangan ku menuju elevator kemudian sampai pada apartemen mewah yang berada di lantai sebelas paling ujung.

Gerakannya semakin cepat saat aku melenguh merapatkan mata ku keras, kaki ku lemas, jika saja tangannya tak memeluk pinggangku, dan tangan ku yang tak mencengkram kedua lengannya mungkin aku sudah terduduk saat ini juga.

“akh—”
Tubuh ku terasa panas seperti ingin dipuaskan. Aku benar-benar gila. Ia membawa ku pada jurang yang amat nikmat. Sialan.

Saat aku membuka mata, ia tengah menatap ku. Pandangan sayu yang sedikit menggelap, tatapannya masih sangat tajam. Dan ia masih fokus pada gerakan jemarinya yang kini sudah bertambah menjadi dua.

Aku gila. Ini nikmat dan aku tak mampu berpikir apapun selain memeluknya erat. Tubuh ku bergetar hebat hingga aku merasa pelepasan yang semakin dekat. Mereka masuk lebih dalam, sedangkan Jungkook kini tengah mengecupi ceruk leher ku. Aku tak kuasa, jadi ku pikir menarik rahangnya untuk mendekat dan kembali memulai ciuman bukanlah masalah.

“umhh, Jung—”

“humm, kau ingin lebih cepat? ”

Tentu, aku mengangguk begitu saja, kemudian gerakannya semakin cepat dan aku sampai. Napas ku tak teratur, gila, tubuh ku lemas bukan main. Namun kemudian aku merasakan tubuh ku ringan didekapannya.

Jungkook membaringkan ku pada sebuah ranjang king size dengan selimut hitam yang amat tebal. Ia kembali melumat bibir ku kasar. Menenggelamkan diri pada tumpukan bantal dibawah tubuhnya, merasakan kenikmatan yang menyengat dan mengalir pada seluruh saraf ku.

Lantas beberapa menit setelahnya aku kehabisan napas, meminta keringanan dengan tepukan keras pada kedua pundaknya, pun ia berhenti. Membiarkanku mengais napas sebanyak mungkin. Ia menatap ku lagi, mengecup pipi kanan ku dan berakhir merengkuh tubuh ku dengan bertukar posisi menjadi Jungkook yang berada dibawah.

Ia mengecupi pucuk kepalaku, menyelipkan untaian rambut ku kebelakang telinga sebelum berbisik dengan suara rendah, “maafkan aku, sayang. Ini terlalu jauh. ”

Aku menggeleng kala itu juga, entah untuk jawaban apa. Yang ada hanya suara Jimin beberapa minggu lalu yang datang seperti tengah membenarkan semuanya 'kau tak tau saja, ia bahkan seorang pecandu sex'

Tidak, tidak. Jika memang iya mungkin seharusnya aku sudah terbaring lemah tanpa pakaian. Ku pikir seorang pecandu tak mungkin menahan hormonnya begitu saja. Tapi—tidak mungkin, Jungkook bahkan bertindak sejauh ini dan—aku tidak bodoh, dengan merasakan sesuatu didalam celananya yang kini tengah mengeras diantara paha ku. Sial. Seharusnya itu memang wajar karena ia seorang lelaki.

Pertengkaran tadi, ku pikir tak ada satu pun dari kami yang ingin menyinggung nya. Akan tetapi melihatnya menarik ku begitu saja kedalam gedung puluhan lantai ini aku sangat yakin yang tadi itu Jungkook benar benar sangat marah. Mungkin, ku pikir kalimat ku lebih dari sekedar keterlaluan.

Jungkook berdehem, membuat ku mendongak beralih menatap wajahnya yang berada dibawah ku, “yang tadi itu—pertama untuk mu? ”

Tiba-tiba saja wajah ku terasa panas, dan yang tadi itu—sangat memalukan. Aku mengangguk lagi, menyembunyikan diri pada dadanya. Aku ingin tenggelam saja. Malu sekali.

“tak perlu malu dan maafkan aku sudah lancang membuat mu merasakan seperti tadi. ”

“jangan bicarakan itu lagi! ”

Ia terkekeh, lebih pada tertawa geli seraya menyibak rambut yang kini tengah ku gunakan untuk menutupi pipi merah ku. “jangan disembunyikan. Pipi merona mu cantik, kok. Tapi—”

“apa? ” aku menyahut lebih cepat, benar-benar kesal dengan kata-katanya yang selalu merayu. Menggoda sampai membuat ku merona.

“bukan kah itu nikmat, hm?

stop it, Jung! ”

Jungkook kembali tertawa, namun setelahnya ia diam menatap ku dari atas. Tak berapa lama, aku mendengar erangan frustasi dari celah bibirnya, ia mengumpat pelan sebelum memindahkan ku kesamping tubuhnya dan ia sendiri beranjak duduk disamping ku.

Aku tidak bodoh, tentu saja. Berteman dengan Seulgi membuat ku mengerti tentang lelaki. Setidaknya, walaupun Taehyung lebih dulu berada dalam kehidupan ku, aku tak tau jauh tentang kaum mereka sebelum Seulgi datang.

Dan, satu pertanyaan bersarang begitu saja dalam pikiran ku, bagaimana jika aku mengajak Jungkook bercinta? Tidak, mungkin sex?

“aku harus menyelesaikan sesuatu dulu, Jo. Ini sangat menganggu. Kalau kau tidak keberatan, tunggu aku diruang televisi” ujarnya dalam langkah menuju pintu kamar mandi.

Aku mengangguk saja, kemudian beranjak keluar kamar tanpa mau tau apa yang tengah ia lakukan dengan erangan yang semakin kencang didalam sana.

Apartemennya tak terlalu besar tapi sangat mewah dan—ku rasa hanya ada satu kamar. Jika berkeliling sama dengan kegiatan menunggu yang Jungkook maksud, maka aku melakukannya. Pun keluar dari kamar yang didominasi merah itu, rasa penasaran datang menguar begitu saja dikepala ku. Mungkin jika mata ku menemukan sesuatu yang mencolok atau dapat ku jadikan bukti bahwa ia memang seorang pemabuk, maka akan kujadikan alasan untuk menyerangnya dengan ribuan pertanyaan.

Ini buruk, apa baru saja aku mengatakan untuk menjadi seorang tamu yang tidak memiliki sopan santun. Tidak tidak, ini semua memang karena Jimin yang menyebalkan, membuat ku kesal setengah mati, dasar sialan.

Pun kini yang kulakukan hanya duduk disofa, menyalakan televisi sembari meneliti lebih dalam kesekitar tempat dimana aku berdiam diri. Banyak sekali rubik tersusun disana. Dan ku rasa bukan hanya disana, karena saat mata ku berkeliaran sebagian besar yang menjadi hiasan adalah sebuah rubik. Aku mengernyit tak paham, lantas mengendikkan bahu acuh. Mungkin hobinya memainkan rubik.

Namun tidak, manakala mata ku menyisir lebih rinci pada benda-benda yang terpajang sepanjang bufet didepan ku, aku terdiam begitu saja dengan degupan jantung yang kelewat batas. Kencang sekali, sampai ingin mati. Berdiri dan sedikit berlari untuk memastikan dengan mulut yang menganga terbekap oleh tangan.

“tidak mungkin—”

Tenggorokan ku tercekat begitu saja, sulit sekali untuk bernapas. Tubuh ku kaku, masih berusaha meremat benda yang kini ada ditangan ku. Kemudian mata ku memanas, mengumpulkan genangan air dibalik pelupuk dengan sendirinya.

Aku semakin penasaran, melangkah lebih jauh sebelum suaranya menginterupsi melalui pendengaran yang kelewat pelan.

what are you doing, Jo? ”[]…

I Choose You [JK][M]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang