Chapter Eight

1.6K 201 4
                                        

Sunyi.

Gelap.

Jimin duduk meringkuk di lantai kamar, tangannya melingkar mendekap kedua kakinya. Jimin tidak tahan, dia tidak sanggup menjalani kehidupan sebagai Jeongmin. Kedua matanya yang tertutup kain, benar-benar membuatnya seperti orang buta. Suasana di sekitarnya sangat sunyi, terlalu sepi sampai telinganya berdengung membuat kepalanya sakit. Lamia datang secara rutin, tapi gadis itu lebih banyak di luar rumah. Jimin menangis, dia ingin menghubungi Jeongmin tapi tidak ada alat komunikasi apapun di rumah besar ini. Jimin perlahan menggigiti kuku jarinya, hanya itu yang bisa dilakukannya sekarang. Jimin merindukan Jungkook, merindukan Taehyung, Namjoon, dan tentu saja Hoseok.

Apa Jeongmin bisa merasakan penderitaan Jimin sekarang?

Kalau memang dia merasakan, kenapa dia tidak datang?

Jimin terdiam, dia menegang kala telinganya menangkap suara langkah kaki di lantai bawah. ‘Siapa itu?’ batin Jimin, ‘bukan, itu bukan Lamia. Siapa itu?’ Jimin waspada, dia meresapi langkah kaki itu. Mantap, dan langkahnya sedikit menghentak. Tak berapa lama, pintu kamarnya terbuka. Jimin berusaha tetap tenang, namun telinganya masih mendengarkan langkah kaki yang mendekat itu.

“Jeongmin. Kau baik-baik saja?”

Jimin diam saja, dia tidak mengenali suara itu. Jimin terkejut saat sebuah tangan melepas penutup matanya, dia menoleh dan menghela napas menyadari itu ternyata Yoongi. “Kenapa kau menangis?” tanya Yoongi, dia terlihat sangat khawatir, “apa terjadi sesuatu?”

“Aku ingin keluar darisini, Hyung,” Jimin menjawab pelan, suaranya serak menahan tangis dan sakit di benaknya.

Yoongi terdiam, dia menghela napas dan duduk bersila di depan Jimin. “Maafkan aku mengurungmu disini, Jeongmin,” ucap Yoongi, “tapi aku melakukan ini untuk melindungimu. Aku bukan hanya mencegah agar matamu tidak membunuh orang lain, tapi juga karena ada yang mengincar nyawamu. Aku tidak bisa membiarkan siapapun mencelakaimu.”

Jimin mengerutkan dahi. Mengincar nyawa Jeongmin? Untuk apa? “Saat kita semua belum lahir, ayahku, ayahmu, dan beberapa cenayang lain berusaha mengurung satu iblis yang mengacau di dunia manusia,” Yoongi mulai bercerita, “tapi dia tidak pernah bisa dikalahkan. Dia berusaha mengincar nyawa ayahmu, karena sebelumnya...” Yoongi mengelus pelan mata Jimin dengan jemarinya, “...mata pembunuh ini adalah milik ayahmu.”

Jimin terdiam, dia merasakan kehangatan dari sentuhan Yoongi. “Lamia pasti sudah menceritakan kepadamu soal iblis yang mengutuk ibumu saat dia hamil, kan,” Yoongi meneruskan, “dan anak bodoh itu juga pasti sudah menceritakan bagaimana ayahmu memberikan kekuatannya untuk menguatkan nyawamu. Tapi dia tidak menceritakan bagaimana ayahmu harus kehilangan nyawanya karena kehilangan kekuatannya sendiri.”

Jimin masih diam, jantungnya berdegup tak karuan. “Saat itu muncul ramalan soal dirimu dan saudaramu. Iblis itu tahu, bahwa mata pembunuh ayahmu berpindah kepadamu, maka dia berusaha mendekati ibumu. Ayahmu, dia berhasil melindungi keluarganya... hanya saja dia tidak bisa menyelamatkan nyawanya sendiri,” Yoongi kembali bercerita, “iblis itu juga melahirkan anaknya diantara manusia. Dia berkata bahwa anaknya itu yang nanti akan mengambil mata pembunuhmu. Itu sebabnya kami menyembunyikanmu disini. Selama aku, Seokjin Hyung, dan Lamia belum menemukan anak iblis itu dan memusnahkannya, kami tidak bisa membawamu keluar darisini.”

Deg.

Jimin terhenyak. Dia menyadari Jeongmin dalam bahaya. “Hyung,” Jimin berucap panik, “Hyung kumohon keluarkan aku darisini. Hyung, aku harus pergi!” Jimin beranjak, dia berlari namun Yoongi segera menahannya. “Tunggu! Kau mau kemana?” Yoongi bertanya, “kau tidak bisa keluar, Jeongmin!”

Twins (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang