***
Gia memilih untuk memesan makanan super banyak dari pelayanan VVIP yang ada di apartemennya untuk memberi tenaga kepada Abel yang sudah lelah itu. Dan yang benar-benar membuat Gia sebal, adalah karena makanan tak kunjung datang!
Abel terus-terusan meneteskan air mata walaupun Ia sudah tidak histeris. Matanya bengkak, kantung matanya berubah menjadi gelap. Entah sudah berapa tissue dia habiskan untuk menghapus air matanya, namun tetap saja Abel masih menangis.
Gia, sahabatnya, sahabat yang selalu ada sejak mereka masih di bangku SD, merasa kasihan. Tidak tega terhadap Abel yang tidak hanya harus menghadapi kenyataan bahwa ternyata suaminya selama ini telah berbohong, namun Ia harus mengandung buah hati dari pembohong tersebut.
"Bel, jangan nangis.. kasian si baby." Ucap Gia membelai perut Abel yang sudah mulai membuncit.
"It's a boy. My very first son. Tapi bukan anak pertama buat Bagas." Ucap Abel yang mulai stabil.
Tak sadar, Gia juga ikut menitikkan air mata. Dia akan memiliki keponakan yang tentu saja akan tampan. Abel cantik, tidak ada yang tidak setuju. Bagas? Tampan bukan main. Sayangnya kurangajar.
Semoga aja ni anak ga ngikut sifat bapaknya.
Abel yang sedari tadi memperhatikan Gia yang terus-terusan berkutat dengan pikirannya, akhirnya buka suara. "Gue harus ngomong apa ke Bagas, Gi?"
Jujur, bagi Gia, ini adalah hal yang sangat muda. Kalau Abel mencintai Bagas, kembalilah dan hidup bahagia dengannya. Dan apabila fakta yang ada menunjukkan sebaliknya, Abel bisa pergi dan menjauh dari Bagas. Kalau Abel tidak ingin Bagas tau dia memiliki anak dengan Abel, Abel tidak perlu memberi tahu Bagas.
Tapi tentu tidak semudah itu, bagi Abel. Pertama Bagas berbohong soal pekerjaannya, dan sekarang soal dia memiliki anak yang sudah berumur 3 tahun? Itu adalah hal serius yang tidak bisa Abel anggap enteng. Apakah hanya Sabian? Ataukah mungkin apabila ada kemungkinan, walaupun kecil, bahwa Abel akan kembali ke pelukan Bagas, 5, atau 10, atau 15 tahun lagi ada seorang wanita yang memencet bel rumah mereka, dan membawa anak kecil yang ternyata anak Bagas juga. Bagaimana bisa Abel bertahan dengan hal tersebut?
"Bel-"
*TINGTONG*
"HHHHH FINALLY" Teriak Gia. "Lo harus makan dulu, gue bener-bener gabisa liat sahabat gue lagi hamil begini dan kekurangan gizi."
Abel hanya tersenyum bersyukur dan melihat Gia yang dengan semangat membuka pintu.
"Mas, bayarannya udah lewat debit yang kemarin."
Dan saat Gia hendak meraih makanannya, ternyata tidak ada. Tidak ada nampan yang digunakan untuk membawa makanan. Tidak ada pramusaji yang membawakan makanan. Hanya Bagas. Dengan wajah yang sangat ngeri. Tidak mandi, tidak cukur jenggot, tidak harum. Bagas yang super berantakan.
"Bagas?" Wajah Gia memucat.
"Gi, boleh gue ketemu Abel?" tanya Bagas dengan nada putus asa. Wajahnya merah. Terlihat sekali sedang memikul beban yang cukup berat.
Jantung Abel berdegup kencang. Suara Bagas. Itulah Bagasnya. Suami yang sebenarnya dia rindukan selama ini. Tangannya dengan otomatis memegang perut yang mulai padat itu. Anaknya. Anak mereka.
Abel bahkan bersumpah, kalau anaknya baru saja bergerak untuk pertama kalinya saat mendengar suara Bagas. He knows his father is here. Hati Abel berbicara.
Gia masih terdiam. Tak tahu harus bagaimana. Dia pun tidak tega melihat Bagas yang sudah seperti gelandangan tak pernah dirawat ini. Sama sekali bukan Dandy Bagashwara yang Ia kenal. Bagas yang Ia kenal adalah seorang yang gagah, tampan, dengan wajah maskulin dan senyum ramah. Senyum yang siap membuat para gadis bertekuk lutut. Namun sekarang, Bagas yang ada dihadapannya berbeda. Bukan Bagas yang Ia kenali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah sama Musuh?!
Romance#1 in Friends . . . . . "Kamu harus menikah sama dia" Kalimat itu seperti petir yang menyambar ditengah hari yang cerah milik Bagas dan Abel. Bagaimana tidak? Mereka tiba-tiba dipaksa untuk menikah dengan orang yang sangat mereka hindari. Sosok yan...