***
-5 bulan kemudian-
Kabar duka datang dari keluarga kecil Abel dan Bagas. Mereka baru saja menerima kabar dari sahabat Bagas di Venesia kalau rumah Camilla dirampok dan sekeluarga dibunuh. Camilla tewas bersama suami, dan ketiga bayinya yang masih sangat kecil. Bagas yang mendengar itu tanpa pikir panjang langsung terbang ke Venesia untuk ikut membantu polisi menangkap orang yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, Abel tidak bisa ikut karena dia sedang hamil tua dan harus menjaga Sabian agar tidak syok saat mendengar kabar tersebut.
Seperti sekarang ini, Abel menemani Sabian yang sedang bermain lego dan anak sekecil itu sudah harus kehilangan seorang Ibu. Tidak disangka Abel akhirnya ikut bersedih dan berharap pelaku yang membunuh Camilla sekeluarga akan dihukum seberat-beratnya.
Baru saja Abel hendak mendekati Sabian, ponselnya berdering. Nomor yang digunakan Bagas ketika berada di Venesia.
"Halo, Ayah?" sapa Abel yang sudah terbiasa memanggil Bagas dengan sapaan'Ayah'. Karena memang, sudah seharusnya Abel membiasakan diri untuk memanggil imamnya dengan gelas Ayah. Toh memang Bagas, adalah seorang Ayah.
"Bun, gimana Sabian? sama si Baby?" tanya Bagas. Tersirat suara kekhawatiran dalam bibir Bagas ketika dia menanyakan keadaan keluarganya. Tentu saja khawatir. Istrinya sedang hamil tua, dan dia harus mengurus kasus Camilla, serta pengalihan hak asuh atas Sabian kepadanya dan Abel.
Walau akan mempermudah pengalihan hak asuh, tentu saja ini bukan hal yang diinginkan oleh Abel dan Bagas. Mereka ingin bersama-sama dengan Camilla dan Ryan untuk membesarkan putra putri mereka, namun semua itu hanya kenangan.
"Baik... Tadi cek dianter Mama, kata dokter minggu depan mungkin udah lahiran. Kamu cepet pulang ya, kan mau liat Baby."
"Iya, kata penyidik sama pengacara aku boleh balik ke Indo kok buat nemenin kamu. Istirahat ya, biar Sabian sama Mama atau Ibu. Kan kamu juga harus siap-siap buat lahiran minggu depan..."
"Mulai nih protektifnya. Aku istirahat kok. Hati-hati pulangnya ya"
"Titip cium buat Sabian, Baby, sama bundanya." Ucap Bagas membuat Abel tersenyum dan akhirnya menutup sambungan telepon.
Sabian yang melihat Abel menutup telepon langsung mendekat dan duduk disamping Bundanya.
"Ayah, ya Bun?"
Abel bangga. Sabian sudah mulai bisa menyapanya dnegan bahasa Indonesia yang jelas. Butuh latihan berminggu-minggu untuk Sabian bisa mengerti, bahkan mereka harus mendatangkan pelatih profesional dan merogoh kocek cukup dalam hanya untuk Sabian supaya dia bisa berkomunikasi dengan Ayah dan Bundanya.
"Ayah titip cium. Katanya ga sabar mau pulang. Sabian udah capek mainnya? Mau Bunda temenin tidur?" tanya Abel membelai rambut coklat gelap Sabian yang tidak gondrong.
"Capek. Tired." Jawab Sabian menyenderkan kepalanya dipelukan Abel. "Yuk tidur"
Baru saja Abel berdiri untuk mengajak Sabian kekamar, tiba-tiba air sudah mengucur dari perutnya dan membasahi lantai.
"ahh" pekik Abel kesakitan dan terus memegangi perutnya. Sabian terkejut. Apalagi bundanya sedang mengucurkan banyak air dari dalam perut.
"Bunda!" teriak Sabian. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, dan Abel terus saja kesakitan.
"Panggil Nenek sama Eyang, nak!" Perintah Abel berusaha setenang mungkin. Dia benar-benar tidak ingat kalau banyak pikirann akan berefek kepada bayi dalam perutnya.
Sabian mengangguk dan berlari dengan panik. Dia berteriak memanggil Nenek dan Eyangnya.
"Aaahhh! Mamaa, Ibuu" Panggil Abel semakin sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah sama Musuh?!
Romantizm#1 in Friends . . . . . "Kamu harus menikah sama dia" Kalimat itu seperti petir yang menyambar ditengah hari yang cerah milik Bagas dan Abel. Bagaimana tidak? Mereka tiba-tiba dipaksa untuk menikah dengan orang yang sangat mereka hindari. Sosok yan...