Abel merasakan konflik yang hebat dalam dirinya. Dia seakan sedang bertarung dengan egonya sendiri. Ditangannya, terdapat dua buah alat tes kehamilan atau yang biasa disebut dengan testpack. Dadanya berdegup kencang. Abel khawatir dia akan positif hamil dan belum siap dengan semua perubahan dalam hidupnya. Dia masih berusaha untuk mencintai Bagas, dan belum menyiapkan diri untuk mengandung bayi suaminya itu.
Tubuh Abel selama tiga hari ini lemas dan selalu mual. Awalnya menganggap hal itu biasa karena memang Abel bisa saja masuk angin, tapi sangat aneh apabila tiba-tiba dia masuk angin tanpa sebab. Kemudian dia mengecek tasnya dan melihat ada pembalut yang masih terungkus rapi belum dibuka sama sekali dan membuat Abel langsung panik.
Dengan polosnya dia meminta Adriana untuk membelikan alat tes kehamilan dan meminta Adriana untuk merahasiakannya dari Bagas. Dia tidak ingin membuat Bagas berharap terlalu banyak dan mendukung Abel untuk segera hamil.
"Hoek"
Abel kembali muntah dan kepalanya pusing sekali. Perutnya sangat kosong saat ini sehingga untuk bangkit berdiripun Abel tidak kuat.
"Abel?" Suara Bagas terdengar dari luar dan membuat Abel terkesiap. "Kenapa, Gas?" tanya Abel dengan suara serak dan lemas. Bagas semakin khawatir dengan keadaan istrinya itu. "Lo udah makan belom?" Tanya Bagas berusaha terdengar senormal mungkin walaupun dia juga takut Abel hamil, karena Bagas sendiri juga belum siap jadi seorang Ayah. Adriana akhirnya menceritakan apa yang dialami Abel karena merasa khawatir bosnya itu sakit parah.
Tanpa menjawab pertanyaan Bagas, Abel akhirnya membuka ketiga alat tes kehamilan tersebut dan langsung mengecek urinnya. Setelah membersihkan diri, Abel meletakkan alat tes kehamilan tersebut di wastafel dan membuka pintu kamar mandi, mendapati Bagas masih berdiri disana dengan pandangan khawatir.
Dengan sisa tenaganya, Abel mendaratkan tubuhnya untuk bersandar didada bidang Bagas. Tidak memeluk. Benar-benar hanya butuh sandaran dan memejamkan mata sedikit saja. Bagas dengan sigap memeluk Abel penuh perlindungan dan tidak berniat untuk pergi dari pintu kamar mandi.
"Lo pengen punya anak?" Tanya Abel akhirnya membuat Bagas melonggarkan pelukan dan menatap istrinya. "Kenapa? Lo hamil?" Tanya Bagas dengan wajah tersenyum sangat tampan. "Gue gak tau... Tapi gue belum siap kalo misal positif hamil"
Keduanya akhirnya berpindah tempat ke sofa ruang keluarga dan saling berhadapan. Bagas tau, Abel masih terlalu muda untuk mengandung dan menjadi seorang ibu. Apalagi untuk mengurus anak dalam waktu dekat. "Gue mau punya anak, meneruskan keturunan dan meneruskan bisnis yang gue bangun, Bel. Tapi gue gaakan paksa lo untuk hamil sekarang, dan kalau misal hasilnya positif hamil, keputusannya ada di lo. Mau lo rawat, atau mau lo kasih ke keluarga yang lebih membutuhkan, gue gapapa. Untuk sekarang ini."
Abel terkejut mendengar pernyataan Bagas. Bagas tidak keberatan apabila darah dagingnya diberikan ke keluarga lain untuk diadopsi???
"Tapi kan- hoek"
Baru saja Abel hendak melanjutkan kalimatnya, dia kembali mual dan langsung berlari ke kamar mandi untuk muntah lagi. Dia mendudukkan tubuhnya di kloset dan menunduk sambil memejamkan mata. "Makan ya? Kosong itu perutnya. Kasian si bayi, kalo emang ada bayinya." Pinta Bagas dengan wajah sangat galau dan membuat Abel mau tak mau akhirnya setuju. Bagas berjalan ke dapur dan Abel masih menunggu di kamar mandi.
Kemudian Abel teringat kalau dia meninggalkan tiga buah testpack yang menunggu untuk dicek dan dengan gerakan cepat tanpa pikir panjang, dia melihatnya.
Dia menghembuskan nafas pelan dan bingung harus sedih atau senang dengan tampilan garis yang ada di alat kecil itu. Begitu Abel menoleh kearah pintu kamar mandi, dia melihat Bagas sudah berdiri disana dan memperhatikan alat kecil digenggaman tangan Abel sambil memegang piring dan gelas.
"Gas..." Sapa Abel.
"Bawa keluar aja yuk. Kita lihat di ruang keluarga aja."
Abel setujud an merek aberdua berjalan kearah ruang keluarga dan Abel memberikan ketiga testpack itu kepada Bagas untuk dia lihat.
***
Bagas menatap tiga alat kecil itu terus menerus. Hatinya sedikit sakit. Dia kini sedang duduk di kursi seberang ranjang tempat tidur mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul satu diniahri dan sama sekali Bagas tidak ada niatan untuk pergi tidur. Berbeda dengan Abel yang sudah tertidur pulas setelah makan dan meminum obat agar tenaganya kuat.
Hasil tesnya sudah keluar. Mereka berdua masih harus mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan dengan kenyataan ini. Apakah harus ada perjanjian atau harus ada peraturan baru agar semuanya berjalan lancar dan sesuai dengan rencana?
"Lo kecewa ngga sama kenyataan ini?" Tanya Abel setelah Bagas melihat testpack itu.
"Apapun hasilnya harus disyukuri, 'kan?"
"Gas, gue emang ga minum pil KB dan pengaman kita cuma kondom aja 'kan? Jadi kemungkinan hamilnya memang ada."
"Abel, udah gausah disesali."
"Tapi sebenarnya lo menginginkan seorang bayi, ngga?"
"Jujur gue belum siap jadi Ayah, Bel. Gue pengen mengenal lo lebih jauh sebelum ada tambahan di keluarga kita. Tapi gue juga akan bahagia kalo misal kita punya bayi nanti."
"Tapi 'kan hasilnya negatif, Gas. Gue ga hamil..." Ada rasa bersalah yang tergambarkan di ekspresi Abel membuat Bagas menggenggam tangan istrinya erat.
"Tandanya kita harus periksa ke dokter, kenapa lo lemes terus."
Bagas meletakkan ketiga testpack kedalam laci yang ada di meja rias Abel, kemudian menyusul Abel ke kasur. Ditatapnya Abel dengan seksama. Istrinya. Calon ibu dari anak-anaknya kelak.
Diciumnya kening Abel cukup lama, dan dibisikkannya kata-kata ajaib itu.
"I love you, Riani Abelia Saputra. I really do."
***
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah sama Musuh?!
عاطفية#1 in Friends . . . . . "Kamu harus menikah sama dia" Kalimat itu seperti petir yang menyambar ditengah hari yang cerah milik Bagas dan Abel. Bagaimana tidak? Mereka tiba-tiba dipaksa untuk menikah dengan orang yang sangat mereka hindari. Sosok yan...