***
Bagas menjauhkan rengkuhannya dan menatap Abel lembut. Sirat lelah masih ada dimatanya, namun yang lebih terlihat jelas adalah pandangan penuh pedulinya. "Lo mau tau apa aja? Tanya. Gue janji gue akan jawab jujur."
Abel masih menatap Bagas dengan tatapan tidak yakin. Kalau Bagas bisa menyembunyikan tentang pekerjaannya, apa mungkin semakin banyak hal yang disembunyikan oleh suaminya itu?
"Bel, jangan bengong gitu. Gue khawatir." Lanjut Bagas lagi setelah lima menit mereka hanya saling diam.
Abel menarik nafas panjangnya. "Sejak kapan lo jadi CEO?" tanya Abel langsung, enggan menunda-nunda lagi. "Udah jalan dua tahun. Perusahaan ini milik gue, jadi semisal ada kerugian, gue harus siap nalangin biaya."
Abel kembali menatap Bagas. Mata suaminya itu sudah merah sekali. Pasti lelah. Apalagi perjalanan dari Jakarta ke Venesia cukup lama dan melelahkan. Selama lebih dari 20 jam di udara. Ditambah perbedaan cuaca yang sangat ekstrem. Namun, Bagas terlihat bisa menahan rasa kantuknya. Dia berusaha untuk fokus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Abel.
"Semisal gue ngga bahas, lo ga bakalan jujur sama gue?"
"Tentu aja gue mau jujur sama lo. Tapi gue pengen nilai, kalau lo tau suami lo pegawai biasa yang bisa kapan aja dipecat, apa lo bakal tetep mau lanjutin rumah tangga ini. Atau semisal kalau lo lagi butuh uang dan keuangan kita lagi sulit, apa lo bisa tahan hasrat belanja lo?"
Abel mendengus kesal. Jadi Bagas ini sengaja mengujinya? "Lo tau kan, gue disuruh nikah sama lo tanpa perasaan apapun, bahkan gue benci sama lo tapi gue masih bisa terima dan mau nikah karena permintaan Mama sama Papa. Jadi apa yang bikin lo mikir kalo gue akan menyerah cuma karena urusan finansial? Uang bisa dicari, Gas. Gue kerja nanti kalo emang keuangan kita menipis"
"Nggak. Bukan itu. Gue ga akan izinin lo kerja."
"Nih ya, gue kasih tau. Gue selama ini mikir kalo suami gue cuma pegawai biasa yang bisa dipecat kapan aja tuh lebih mending daripada tau dan terus kepikiran kalo lo seorang CEO yang tanggung jawab sama kelangsungan hidup pegawai lo."
Bagas terdiam. Menelaah semua kalimat Abel. "Kalau semisal gue bangkrut, lo bakal tetep ada buat gue?"
"Gue ini istri lo, Gas. Gue bukan cewe murahan yang bisa dibeli sama uang. Semisal nanti lo beneran bangkrut, kita jual aja mobil-mobil lo yang jumlahnya kayak umur gue sekarang, dan kita buka usaha sendiri. Bangun perusahaan sendiri."
Abel menggenggam tangan Bagas yang terbebas dan membelainya lembut. "Go get some sleep. You deserve that"
***
Abel menggeliat karena merasakan ada sebuah benda yang membasahi pipinya dan memaksanya untuk bangun. "Buongiorno, moglie mia."
Ternyata Bagas. Menciumi pipi Abel dengan semangat. "eenngghh" Gumam Abel menarik lagi selimutnya. "Buongiorno, moglie mia." Bagas kembali mengucapkan kalimat itu. Abel masih lelah. Tidak mau berpikir apa arti kalimat diatas.
"Buongiorno, moglie mia." Kembali Bagas menyebutkan kalimat itu.
"Buongiorno, moglie mia."
"Buongiorno, moglie mia."
"Buongiorno, moglie mia."
Bagas masih mengulang-ulang kalimat yang sama sampai akhirnya Abel menyerah "AARGHH APASII" Omel Abel tak kuat. Bosan sekali dia medengarnya. "Gue ga ngerti artinya, Bagaaas" Rajut Abel dengan wajah mewek masih ingin tidur.
"Artinya, Selamat pagi istriku." Jawab Bagas dengan ekspresi menggemaskan membuat Abel yang mengintip dari sela-sela matanya yang terpejam bisa sedikit melunak. DIA BAHKAN MEMANGGIL ABEL DENGAN SEBUTAN ISTRIKU.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah sama Musuh?!
Romance#1 in Friends . . . . . "Kamu harus menikah sama dia" Kalimat itu seperti petir yang menyambar ditengah hari yang cerah milik Bagas dan Abel. Bagaimana tidak? Mereka tiba-tiba dipaksa untuk menikah dengan orang yang sangat mereka hindari. Sosok yan...