Time [42]• Ketidakberdayaan

2.3K 76 3
                                    

Kedua orang tua itu tampak khawatir dengan kondisi putrinya. Satu minggu terakhir, kondisinya semakin memburuk. Dan kali ini, apa yang dikhawatirkan semakin menjadi-jadi.

Tubuh putrinya mengejang dengan gerakan cepat. Matanya masih tertutup, dan air mata terus menetes.

Selang oksigen terlepas dengan sendirinya. Bibir gadis itu tak henti-hentinya bergetar.

Sang mama pun sangat miris melihat kondisi pitri cantiknya. Ia menangis dengan pedih. Ia berjalan mendekati putrinya.

"Sayang ... kamu kenapa, Nak? Kayla jangan tinggalin Mama sama Papa, ya." wanita paruh baya tersebut terus mengecupi dahi putrinya.

Penyakit meningitis yang menyerang putri semata wayangnya tersebut kini semakin menjalar ke sumsum tulang belakang.

Pembengkakkan pada selaput otak semakin menghimpit sistem sarafnya, dan jika Tuhan berkehendak lain, penyakit tersebut bisa menyebabkan kematian.

Mengingat kematian, wanita paruh baya itu berjalan mendekati suaminya, dan memeluknya dengan erat. "Kayla, Pa!"

Sang suami hanya bisa menatap ketidakberdayaan putrinya dalam tangis yang tertahan. Ia tak sanggup melihat putrinya dalam kondisi tersebut.

Putrinya hanya gadis biasa yang masih berusia 12 tahun. Seharusnya, cobaan berat seperti ini tak menimpanya. Ia masih anak kecil, belum sanggup menanggung penyakit mematikan seperti itu.

"Pa, dokternya mana?! Dokter mana dokter?!" Risa-Mama Kayla-menepuk-nepuk dada suaminya dengan penuh tenaga.

Rendi-Papa Kayla-hanya bisa memejamkan matanya saja.

"Pa, Kayla!" Risa menangis dalam dekapan suamimya. "Dia masih kecil, Pa. Dia masih anak-anak. Seharusnya dia gak ngalamin hal berat kayak gini! Hiks."

"Dokter masih di perjalan, Ma. Sebentar lagi sampai." Rendi mengembuskan napas beratnya.

Risa berjalan menghampiri putrinya. Ia mengambil tangan mungil Kayla dengan penuh kelembutan. Ia mengecupnya.

Dingin.

Kini tubuh Kayla tak lagi mengejang. Digantikan, dengan gadis itu kesusahan menarik napas.

Risa segera memasangkan selang oksigen yang sempat terlepas itu. "Kuat, Sayang. Kamu pasti kuat." ia mengelus puncak kepala putrinya dengan sayang.

"Pa, Kayla! Dokter mana, Pa! Dokter, hiks!" Risa memejamkan kedua matanya kuat.

"Ma, Kayla pasti baik-baik saja. Dia anak yang kuat." Rendi mendekat, ia berjalan menghampiri istrinya, dan memepuk-nepuk pundaknya pelan.

"Pa, Kayla!" Risa merangkul suaminya dengan lemah. "Anak kita, Pa."

"Ma, Mama harus percaya sama Allah. Allah selalu punya rencana terbaik untuk setiap hambanya."

"Assalamu'alaikum. Permisi." seseorang membuka pintu.

"Wa'alaikum salam," jawab keduanya.

Rendi memutar pandangannya. "Dokter?"

Seketika itu, Risa langsung menolehkan kepalanya ke belakang.

"Dokter!" panggil Risa.

Dokter dengan name tag Yuda itu tersenyum.

"Gak usah basa-busuk ya, Dok! Cepet tolongin anak saya!" Risa dengan tak sabar menarik tangan dr.Yuda untuk menghampiri putrinya.

"Anak kita, Ma!" ralat Rendi.

"Ya, ya! Serah Papa!" Risa mengibas-ngibaskan tangannya tidak peduli.

Different Time [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang