sejeong berdiri di depan jendela kamar inapnya yang terbuka lebar. semilir angin menerpa wajahnya, membuat anak rambutnya menari-nari mengikuti arah angin.
wanita itu bertanya-tanya sampai kapan ia akan terus mendekam di rumah sakit? ini sudah genap dua minggu lebih ia menjalani serentetan pengobatan.
ia tak pernah mengerti sakit apa yang ia derita. dokter joy memang sempat menjelaskan kondisinya, tapi percuma sejeong hanya wanita yang tumpul pengetahuan.
bunyi pintu yang ditutup perlahan dan suara langkah kaki terdengar di telinganya. sejeong tak bergeming, ia tetap menatap lurus ke depan hingga sepasang tangan melingkari pinggangnya.
"kau bisa masuk angin." suara itu begitu jelas di telinganya. pundaknya terasa berat karna dagu laki-laki itu disandarkan di sana.
"semilir angin tidak bisa membuatku sakit." kata sejeong. "jauh sebelum itu aku sudah lebih dulu sakit, bukan kah begitu."
helaan nafas itu menerpa lehernya, bersamaan dengan itu tangan yang melingkari pinggangnya mengerat dari sebelumnya.
"kau pasti sembuh dan bersikaplah optimis, semangati dirimu bukan pesimis begitu." ujarnya.
"bagaimana caraku bisa optimis kalau saat ini aku tak lagi punya tujuan untuk hidup."
tubuhnya diputar hingga matanya kini bertemu tatap dengan iris teduh milik doyoung. laki-laki itu mengelus pipinya lembut.
"aku bisa menjadi tujuan hidupmu."
"kenapa kau selalu bersikeras untuk memaksakan kehendak?? kita tak pernah ditakdirkan untuk bersama."
"kalau kita tak pernah ditakdirkan kenapa malam itu kita pertemukan, bukan hanya sekali, apa itu bukan sebuah takdir?"
"itu hanya sebuah kebetulan—"
"tidak ada kebetulan yang terjadi terus menerus. sekali dua kali itu memang kebetulan, tapi kalau terus menerus apa namanya kalau bukan takdir?"
sejeong memang selalu kalah, doyoung selalu bisa membalas setiap perkataannya dan itu terdengar masuk akal.
"berhenti khawatir. selama aku masih ada tidak ada yang perlu kau khawatirkan." tangan itu turun ke daerah lehernya.
hari ini sejeong mengikat rambutnya menjadi satu, dan leher jenjang wanita itu terlihat jelas.
suasananya begitu mendukung dan doyoung tak bisa menahan diri lagi. laki-laki itu membunuh jarak yang ada, beralih memiringkan kepala dan memejamkan mata saat bibirnya bertemu dengan bibir sejeong.
itu ciuman kedua mereka.
tidak seperti pertama kali, kali ini bibir itu bergerak, memberikan lumatan-lumatan kecil. gerakannya tidak terburu-buru justru tekesan begitu lembut.
sejeong sampai merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan dari perutnya. semilir angin dingin dari jendela membuatnya semakin merapatkan diri hingga tak ada lagi jarak yang tersisa.
tidak pernah ia rasakan sebelumnya sensasi seperti ini. laki-laki itu memperlakukannya dengan begitu lembut seolah ia adalah benda yang mudah rapuh.
lalu apa yang harus ia ragukan lagi?? ia telah menemukan laki-laki yang bersedia menerima dirinya apa adanya, dan yang terpenting laki-laki itu mencintainya dengan tulus.
haruskah sejeong menerimanya?
keduanya sama-sama menarik nafas sebanyak mungkin saat pagutan itu terlepas.
sejeong merasa seluruh wajahnya berubah merah padam, ia bahkan tak mampu menatap mata itu.
sedangkan doyoung tersenyum begitu lebar. tangannya kembali mengangkat dagu sejeong, mata itu kembali berpandangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear you
Fanfictiontentang doyoung dan sejeong, dua orang yang bersama entah karna takdir atau paksaan.