Chapter 12

334 49 3
                                    

Aku mencoba untuk mendengar apa yang tidak dikatakan, dan mengerti apa yang tidak dijelaskan.

××××××××××××××××××××××××

Silvie p.o.v

Sial banget. Sumpah!

Setiap hari pekerjaan bukannya makin ringan malah semakin menumpuk kayak gunung. Belum lagi, beberapa berkas proyek yang masih mengantri untuk diselesaikan.

Well ...

Pak Kyuhyun sebenarnya punya 2 asisten. Asisten utamanya Bu Sulli dan asisten pendampingnya aku sendiri. Tapi, karena Bu Sulli cuti melahirkan. Ya, udah. Aku deh yang menggarap pekerjaan Bu Sulli.

Dan aku enggak nyangka tugas Bu Sulli banyak banget ya Tuhan :'(

Rasanya punggung aku mau encok gara-gara kebanyakan duduk di kursi.

Tapi, bukan cuma aku sendiri sih yang ngerjain. Ada banyak kok yang bantu ngerjain. Contohnya, Chen dan Yeri. Rekan kerja yang selalu siap sedia membantu. Cuma ya aku enggak bisa menyerahkan sepenuhnya dengan mereka. Secara mereka juga pasti ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Enggak enak, bosqu. Malah nanti dikira babu nanti :v

"Silvie, lo dipanggil tuh sama Bos."

Sejenak aku menghentikan pekerjaanku, terkejut dengan kedatangan Yeri yang tengah menumpukan dagunya di dinding pendek yang membatasi tiap meja kerja.

"Pak Kyuhyun manggil gue?"

Yeri menggeleng, "Bukan Pak Kyuhyun tapi Pak Sehun. Dia nyuruh gue buat manggil lo untuk datang ke ruang kerjanya sekarang."

Bangsat! Ngapain lagi si bos sialan itu manggil-manggil!? Mau bikin hati kecil ku potek lagi? Enggak puas apa dia udah bikin hati ku potek beberapa kali pas SMP :'(

Oh, iya aku lupa. Dia kan enggak ingat sama aku :')

"Sekarang?"

"He'em."

"Serius? Sekarang?"

"Enggak besok! Ya iyalah sekarang, nyet! Tadi gue kan udah bilang." Yeri menggeram, "Udah gih cepat sana. Nanti Bos marah lagi. Gue tinggal dulu ya! Bye!" Yeri melambaikan tangannya sekilas kemudian melangkah pergi meninggalkan mejaku.

'Sehun manggil gue ...' lirihku dalam hati.

"..."

"Hah ... Gimana cara gue mau move on kalau begini terus." gumamku pelan, entah kepada siapa.

.
.
.

Happy wedding, Kim Suho dan Bae Irene.

Silvie mengerjabkan matanya beberapa kali, tak percaya dengan tulisan yang terpampang di depannya. Bae Irene. Siapa yang tak pernah mendengar namanya? Dia adalah salah satu dari sekian nama siswi eksis pada masanya.

"Pak Sehun, kita mau ngapain kesini?"

"Mau menghadiri undangan teman." jawab Sehun enteng.

Silvie meradang. Ia dipanggil di saat-saat genting cuma untuk menemani Bos yang sialnya tampan ini menghadiri acara pernikaran temannya.

What the hell!

"Maaf, Pak Sehun. Enggak enak diliatin orang." ucap Silvie tak nyaman saat merasakan tangan besar Sehun yang terus menggenggam tangan mungilnya.

"Jangan peduli dengan pendapat orang lain, Silvie. Anggap saja hanya ada kau, aku dan 2 orang pengantin di sana. Mengerti?"

"Uh ... Baiklah, Bos."

"Good."

Bos nya ini adalah orang terpandang. Kalangan usahawan dan pejabat tinggi pasti mengenal pria dingin bermarga Oh itu. Ditambah popularitasnya di kalangan hawa yang tak pernah memudar--walau statusnya sekarang duda--membuat Silvie sedikit minder disaat dirinya harus berdiri di samping pria ini di depan khalayak ramai.

Coba lihat kumpulan kaum sosialita berparas menor yang tengah menatap mereka. Lebih tepatnya, mungkin ke arah dirinya. Menatapnya dengan tatapan remeh, jijik, plus menyedihkan. Tatapan yang seakan-akan berkata ngapain-lo-dekat-dekat-sama-Sehun.

Atau kurang lebih juga sama seperti lo-enggak-pantas-buat-Sehun-cewek-jalang.

'Apa-apaan lo semua? Iri, huh?' batin Silvie panas.

Kalau boleh berterus terang, ia tak pernah meminta Sehun untuk membawanya kesini. Sehunlah yang memintanya. Bukan ia juga yang memaksa Sehun untuk menggenggam erat tangannya. Sehun juga yang melakukannya.

Dan bodohnya, Silvie tak memiliki cukup ego untuk menolak semua perlakuan manis Sehun. Karena, dari lubuk hatinya yang paling dalam, Silvie merasakan kebahagiaan yang selama ini ia dambakan.

Siapa wanita yang menolak bersanding dengan pria yang ia cintai. Yah, walaupun ia juga tak tahu bagaimana perasaan Sehun terhadapnya.

"Selamat ya, bro. Akhirnya, lo nikah juga." Sehun tersenyum lebar sembari menepuk pundak sahabat seperjuangannya di masa kuliah dulu, Kim Suho.

Suho hanya bisa senyam-senyum berhadiah. Suho menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kebiasaannya kalau ia tengah menahan rasa malu.

"Thanks, bro. Gue enggak nyangka lo yang super sibuk ini mau meluangkan waktunya datang ke pernikahan gue ini."

"Hah, biasa aja kali. Masa gue enggak datang ke pernikahan sabahat dan mantan pacar gue ini? Ya enggak?" kekeh Sehun yang dibalas pukulan keras dari Irene.

Buk!

"Aduh!"

"Apa-apaan sih? Masa lalu di bawa-bawa!" Maki Irene, tak terima dengan ucapan Sehun--yang mungkin--bisa saja merusak momen bahagia pernikahannya ini.

Tapi, malah sebaliknya, Suho malah tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Irene yang terlalu berlebihan.

"Coba lo bilangan sama bini lo. Jangan terlalu sensi jadi orang." cibir Sehun sembari mengelus pelan lengannya yang menjadi sasaran empuk Irene. Silvie berusaha mati-matian untuk menahan gelak tawanya saat melihat adegan tadi.

Pandangan Suho beralih pada gadis asing yang datang bersama Sehun, "Eh, by the way, siapa cewek cantik di sebelah lo ini? Pacar lo ya?" goda Suho.

Sehun terdiam sesaat, "Dia bukan pacar gue."

Mau tahu gimana rasanya saat mendengar? Rasanya seperti tengah dikuliti hidup-hidup.

'Jadi, posisi gue selama ini enggak ada artinya untuk lo, Hun?'

Silvie menunduk dalam, tak sanggup mengangkat wajahnya yang mungkin saja tampak menyedihkan jika dilihat. Apalagi Silvie mulai merasakan kedua matanya mulai memanas.

Mungkin, dia saja yang terlalu percaya diri. Huh, memalukan sekali.

'Tahan, Silvie. Tahan! Jangan menangis!' Ucapnya dalam hati, berusaha menguatkan dirinya sendiri.

"Suho, Irene. Perkenalkan, dia Silvie Jung. Dia calon istri gue."

Silvie tersentak hebat, ia mengangkat wajahnya, tak percaya dengan apa yang tertangkap gendang telinganya.

Apa ia tak salah dengar? Sehun bilang ia calon istrinya?

.
.
.
.
.

TBC

My First ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang