DIBALIK SEBUAH NAMA

MUNA

Teruntuk pemilik nama indah ini, semoga selalu sejahtera dan dilindungi dari setitik kejahatan manapun.

Mendadak tertawa kecil ketika melihat riwayat panggilanmu yang berjam-jam. Dasar. Jauh sekali merantau di kampung orang. Hingga satu-satunya cara agar bisa bercek-cok ria hanya melalui ponsel.

Muna, yang sebulan bisa menelpon beberapa kali. Sekali telepon bisa sejam dua jam. Apa pernah lebih ya? Dasar. Seperti tahu saja kalau ponselku sepi pengunjung.

Muna, yang sekali mudik bisa mengajak aku berkelana kemana-mana. Dari rumah kerabat sampai ke praktek dokter gigi. Atau yang sekali bicara bisa mengajak aku ke dunianya yang penuh ceria dan cerita. Dari kisah asmara sampai kisah asrama. Hingga yang serius tentang ketuhanan sampai tentang kehantuan.

Tahukah sahabat, darimu ku banyak belajar. Bagaimana menjadi wanita dan teman yang pantas. Semua tidak terduga, mulai dari pemberian hijabmu yang akhirnya menggerakkan jiwaku untuk menjadi wanita yang disayang Allah.

Hingga pada pagi di hari pemakaman Ayahku, kau masih bisa menelponku dengan basa-basi. Kau melontarkan banyak pertanyaan yang tidak kumengerti maksudnya. Tapi aku berpikir kamu sedang menghiburku. Sungguh, sempat-sempatnya. Tapi aku tahu, doamu senantiasa mengalir.

Siang hari itu juga, kau bertandang ke rumah. Ketika rumah sudah tidak ramai. Entah apa yang kita ceritakan, sampai akhirnya suara tulus itu kau keluarkan juga.

"Nuk, aku boleh peluk kamu?"

Mendadak tangis pecah, di dalam pelukanmu. Iya, aku akan tegar, sahabatku.

Darimu, kulihat kesederhanaan dan keikhlasan. Sebagai temanmu, sahabatmu, saudaramu, aku akan pelajari itu. Tetaplah seperti ini.

Jika butuh teman cerita, telepon aku. Jika butuh teman ke dokter gigi, telepon aku. Jika butuh suami, jangan telepon aku. Karena aku juga sedang menunggunya. Jangan ketawa!

Cepatlah sukses, dan bagikan pengalamanmu! Jadilah motivator bagi orang-orang disekitarmu. Terkhusus, pada nama yang tertulis pada penutup cerita.

Temanmu,
Inuk.