Ada banyak sisiku yang menolak saat kita memutuskan untuk saling berpisah. Ada banyak kepingan yang jatuh berserakan. Ada jutaan pikiran berkelebat, saling bertautan, mengukir memori lama yang takkan pernah bisa kulupakan.
Ada hatiku, yang terus memberontak kala kita ada di ujung tanduk perpisahan. Ada air mata, yang ku tahan-tahan, agar tak lepas dari tepinya. Ada jutaan kata menyedihkan, yang aku terpaksa harus urungkan.
Jangan pernah mengira aku bahagia tanpamu, karena sejujurnya, terangku sudah tak ada lagi. Aku menyesali setiap kata demi kata yang pernah ku lontarkan hingga kamu kecewa. Aku menyesali setiap kata perpisahan yang sering kali kuberikan. Aku menyesali setiap pertanda aku tak dewasa.
Sakitnya masih terus-terusan kerasa. Karena sebuah keputusan besar telah kita dapatkan. Bukan karna aku tak menyayangimu, hanya saja... aku tak tahu apa yang harus kita pertahankan lagi.
Kau harus tau bagaimana situasi hatiku. Sumuk, gelap, dan sunyi. Setidaknya yang aku ucapkan sudah cukup menjelaskan bagaimana rasanya saat aku terpaksa harus menjauhi tempat ternyamanku. Tempat dimana kita saling menggenggam, tapi nyatanya, semua itu hanyalah angan sekarang.
Bayang-bayang itu, dimana aku sudah tak pernah lagi bisa menemui kata sembuh untuk hatiku, untuk segala kecewaku. Bayang-bayang itu, tak pelak membuatku selalu nyeri. Sungguh, maaf, tapi aku benar menyayangimu.
Aku akan merindukan tempat dimana aku bisa bersikap kekanakan tanpa perlu kamu marahi. Aku akan merindukan setiap tempat, setiap hal kecil, yang membuatku tersenyum simpul. Aku akan merindukan dimana kamu hanya tertawa gemas disaat aku marah.
Kamu tak perlu risau. Sejujurnya akupun berat melepaskan. Dan sejujurnya, aku adalah manusia paling bodoh dalam hal itu.
Kelak kau akan menyadari, bukan aku tak menyayangimu. Hanya saja, aku punya cara dalam melakukan itu.
Aku takkan pernah bosan mengucapkan kata maaf serta takkan bosan pula untuk memaafkan kamu.
Entahlah, kapan terakhir kali aku menangis karena buliran air itu mati-matian aku tahan. Tapi sekarang, aku biarkan jatuh. Menangis, tanpa tau kapan berhenti.
Maafkan aku yang pengecut. Membiarkan kamu berjuang, lalu tinggal santai, sedangkan kamu setiap malam menanti jawaban.
Maafkan aku, yang terlampau jahat untuk kamu. Kalau saja aku bisa membuang rasa kecewa itu, sudah dari jauh hari aku putuskan untuk kembali. Tapi, terlambat, kamu pergi, aku juga tak bisa kembali.
Zona nyamanku telah sirna, padam. Kamu pergi. Terima kasih ya, pernah bertahan untuk orang tak tahu diri semacam aku. Kita tetap akan jadi sebuah memori lama yang indah. Baik-baik ya.