Hambar.
Sibuk meraba kamu.
Yang bahkan tak pernah jadi milikku.
Menelisik tatapan yang sepertinya tak tertuju lagi untukku.Kita berdua pernah punya kisah, yang semakin lama semakin merengek meminta digerus logika. Kisah itu semakin mendesak logika untuk amnesia.
Kau tau, aku tak pernah ahli dalam hal itu, yakan?
Kini semuanya beda. Saling berotasi, kaki tak mampu lagi menumpu dihadapannya. Mata tak mampu lagi menatap wajahnya, tak mampu lagi beradu tatap. Senyum tak lagi terbit.
Kita— ah, tak pernah ada kata 'kita'
Aku dan kamu, perlahan menjadikan lingkup ini asing.
Seperti kedua insan yang kehilangan ingatan.Jarak makin terbentang.
Memaksa keras untuk keduanya menemukan jalan keluar. Cari cari cara agar kekeuh dalam merelakan.Bukannya kita berdua pernah saling menginginkan?
Tapi, adapun kenyataannya, kita memilih bersanding dengan satu yang lain.
Tertawa, menebarkan senyum, bukan lagi untuk kita berdua.Lantas, mengapa aku harus sedih?!
Memaksa agar seharusnya kita berdua tak pernah punya kisah. Agar tak perlu ada luka yang harus meninggalkan jejak.
Mencari cara untuk segera melupakan kelam memori.Apa yang harus kulakukan?
Membuang banyak memori yang terlalu indah? Atau harus terjebak dalam memori yang membuat sakit?Aneh, bahkan kita tak pernah terikat.
Tapi, dari sekian banyak waktu yang tlah kita habiskan, terima kasihku yang paling banyak untukmu.Kau hebat! Ada untukku disaat aku terjerat, tak bisa bebas.
Aku mau memilihmu..
Aku mau punya waktu untuk disampingmu.
Tapi, mungkin belum saatnya kau kumiliki.
Aku tak pandai merangkai kata, tapi perginya kamu, memang membuatku lupa diri.Hingga lupa, bahkan kita sudah lama usai.
...
Semoga,
Jalan yang kita pilih,
Dapat membuat kita mengerti,
Definisi bahagia.Bahagialah,
Jangan doktrin aku agar menyesal tak bisa membuatmu bahagia.-Tulisanku ini, mewakilkan perasaan pura-pura yang selama ini kutunjukkan.-