Mungkin lebih baik aku sebut kamu presiden ya? Anggap saja samaran.
Sekarang, tepatnya pukul 22.44 di hari Rabu, aku lagi-lagi rindu kamu. Kamu yang sering kali bersarang di otakku, hampir setiap saat. Kamu takkan marah 'kan kalau aku rindu?
Teruntuk kamu, yang sering kali aku rindukan.
Aku minta maaf bila hadirku hanya membuahkan nestapa untukmu. Aku minta maaf bila karenaku, kamu terpaksa harus berpura-pura tak mengenalku. Untuk yang satu ini, sebenarnya kamu tak perlu melakukannya.
Aku juga minta maaf apabila waktu yang selama ini kita habiskan, hanya kau anggap sia-sia dan membuang waktu. Aku minta maaf pula bila aku hanya mengganggu hidupmu.
Walaupun klasik, aku tetap ingin merindukan kamu. Sebagai orang terhebat yang pernah bertahan lama untuk menungguku. Maaf, karena terlalu nyaman, aku lupa dengan berbagai pertimbangan kamu hingga akhirnya mematahkan kesetiaanmu.
Seperti Presiden, kamu memang yang terbaik. Walaupun kadang, orang-orang mencap kamu buruk, aku tau bagaimana baiknya diri kamu. Orang seperti kamu, tak pantas memang bersanding denganku yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Sementara aku memujimu dalam diam disela waktu yang kumiliki.
Jikalau kamu menjelma menjadi bagian baru dan masih terasa asing, aku akan selalu merindukan disetiap bagian kamu yang bisa seenaknya bersikap manja, dan tak pernah membuka sifatmu yang itu kepada siapapun. Kamu pria lucu. Aku akui itu, kamu selalu narsis soalnya.
Aku tak punya gangguan jiwa, tapi baru pertama kali aku merasa gila-gilaan dalam mencintai. Sayang, aku tetap harus merelakanmu. Aku tetap harus mengikhlaskanmu. Aku harus tetap tau diri, bahwa aku yang membuatmu putus asa hingga berbalik arah.
Aku tak mengharapmu kembali. Kamu tetap punya tugas untuk meraih cita-citamu, dan aku hanyalah seorang pengacau segala anganmu. Kamu pantas dapat yang lebih baik ketimbang aku. Kamu pantas dapat cinta yang lebih besar, walaupun aku yakin, hanya aku yang bisa menyayangimu sebaik ini.
Tapi nyatanya, aku tak pernah menjadi yang terbaik. Setiap kata-kata dan tindakanku, hanya menggoreskan sakit yang berbekas. Aku harap, aku dapat mengobati itu. Namun, kamu juga terlanjur melangkah pergi karena terlampau pedih.
Aku tak mau membuat goresan itu semakin parah. Aku tak mau membuat luka yang belum sembuh kembali menganga. Aku tak mau Presidenku kenapa-napa.
Sudah aku putuskan untuk merelakanmu. Sudah aku pijakkan kakiku untuk melangkah mundur. Sudah aku pikirkan dimana aku harus menjauh dan duduk di pojokan lalu menangis kencang.
Aku menyayangimu, dan ingin kamu bahagia. Aku tak pernah munafik, aku ingin kamu bahagia denganku. Tapi faktanya, aku hanya menambah kesedihanmu. Sementara, kamu punya kesibukan dan mimpi yang harus cepat kamu tuntaskan.
Apalagi yang harus aku lakukan, selain merelakanmu? Aku tahu diri, takkan mungkin aku bisa berharap tak berpisah denganmu. Takkan mungkin pula untuk berharap kamu memaafkan segala yang kuperbuat, lalu kita kembali bersama.
Titik masalahnya hanya ada di aku, aku yang tak bisa menjawab pertanyaan sesimpel itu. Aku yang tak bisa membuka mulut saat kamu menagih sebuah ujung dari penantian.
Aku lepaskan kamu, sudah jauh dari lama. Agar kau tak terkekang. Agar kau tetap bebas dari segala aturanku. Aku yakin, sesegera mungkin kamu akan menyesal mencintaiku yang penuh dengan syarat ini.
Kamu harus bahagia disana. Kamu harus bahagia tak lagi berada disekitar pembawa masalah. Kamu harus jaga baik-baik hatimu untuk orang yang kelak benar-benar terbaik.
Kamu... sudah bebas, sayang. Tak perlu lagi menyedihkan aku. Tak perlu lagi kamu menunggu aku yang tak bisa melangkah kemana-mana ini. Aku sudah berdiri di jejeran paling belakang, setelah kamu memutuskan untuk pergi. Menciptakan ruang dan jarak agar kita tak lagi saling melukai.
Tapi izinkan aku mengucapkan beberapa kata andalanku disaat mengetik ini.
Presiden, aku rindu.