Kamu pernah bilang, kalau kamu tetap akan menanti. Kamu pernah mengatakan, kamu tetap akan bertahan. Kamu bahkan pernah berjanji, apapun nanti yang jadi pilihanku, kamu tetap akan berjuang.
Aku tak pernah percaya dengan janji setelah lama aku disia-siakan. Aku tak pernah percaya semua omongan manis setelah kesetiaanku dipatahkan oleh pengkhianatan. Aku tak pernah meyakini suatu keseriusan, sejak usahaku dijatuhkan.
Tapi, saat kamu mengucapkan janji, aku percaya hampir sepenuhnya. Sampai-sampai aku heran, bagaimana bisa aku percaya lagi dengan ocehan lelaki?
Semua perjuanganmu, aku genggam sekarang. Melantunkan kilas-kilas kisah kita dalam kebisuanku.
Disaat kamu sudah menjauh hingga punggungmu kian kabur, aku hanya bisa berharap kamu ingat kata pulang. Aku pulangmu, karena aku rumahmu.
Tapi, aku takkan bisa menyuarakan itu. Kehendakku bukanlah yang jadi pilihanmu. Disaat kamu sudah pergi sekarang, aku hanya mampu menutup rapat mulutku dengan hati yang remuk redam. Hancur sudah, jatuh berkeping-keping. Padahal, kamu pernah berjanji.
Padahal, kalaupun ada pilihan untuk meninggalkan, kamu berkata kamu takkan siap untuk itu.
Kenapa? Kenapa justru kamu berputar haluan? Kenapa kamu justru menyisakan janji yang masih terngiang dalam ingatanku? Kenapa kamu mengabaikan aku, disaat aku mulai berani mengakui perasaanku?
Kau sudah tak dapat ku gapai lagi. Jauhnya kamu, tak sanggup lagi tanganku meraih. Bahkan didalam jarak yang dekat, kaki kita justru diam tak melangkah. Aku diam, kamu diam, hingga akhirnya mataku kian diburami air mata, saat perlahan kamu tak menyapa lantas hanya berjalan lebih jauh lagi.
Jelaskan, untuk apa kau katakan tak siap meninggalkan, jika sekarang kamu lakukan itu dengan kejamnya?
Bahkan sebelum aku memutuskan untuk memperjuangkanmu, kamu seolah tak mau diganggu gugat. Kamu sudah beku, dan tak mudah dirobohkan segala bentengmu. Jauh tinggi membentang, bak pondasi yang sangat kokoh.
Aku tak berhasil memperjuangkanmu.
Aku sudah kehilanganmu.
Janji itu... hanya sebagai pertanda untukku. Bahwa kau pernah hadir, turut mewarnai hariku yang cenderung curam dan kelabu.
Janji itu... takkan lagi kubawa kemana-mana. Sebab, tak ada gunanya lagi memang. Kamu sudah jauh, jauh, hingga bayanganmu menjadi sebuah anugerah yang sayang untuk kulewatkan.
Memandangmu dari radius sejauh itu, aku sanggup. Melihatmu tersenyum bahagia, bahkan lebih lepas, saat tak bersanding denganku... aku kurang sanggup. Sebab, yang ku tahu dulu, bahagiamu aku.
Tapi melihatmu jauh lebih terang bersinar saat tak dekat denganku, aku sudah tau pasti, kamu lebih bahagia. Keputusan itu lebih membuat damai hati dan hidupmu.
Teranglah selalu janjimu, aku akan terus ingat, pertanda kamu pernah menjadi bagian penting dalam bahagiaku.
Ini untuk kamu, yang takkan kulupakan, meskipun kamu mengabaikan, meskipun kamu membenciku.
Yang takkan ku lupa, saat kau melengkungkan senyuman cerah, dan dengan mantap berkata,
"Aku pinjam namamu, sewaktu berdoa. Semoga kau takkan meninggalkanku, aku takkan siap."
Mana? Lihat, aku tak meninggalkanmu. Aku masih disini.