Sophie memikirkan cara bagaimana ia harus bertindak. Saat ini yang ada di dalam pikirannya adalah, bagaimana cara dirinya dapat pergi dari rumah ini. Ia benar-benar sudah tidak sanggup tinggal lebih lama disini, sementara Bobby terus-terusan marah padanya.
Sophie belajar untuk dapat mencintai suaminya, walau Bobby tidak pernah sedikitpun menatapnya. Sophie sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Lilya. Ia sayang pada Lilya walau Bobby tidak pernah melihat rasa sayang itu karena Bobby hanya sibuk mengurus Lilya dan pekerjaannya.
Ingin rasanya ia lari meninggalkan Bobby sejauh mungkin, namun sampai hari ini, ia belum mempunya nyali yang besar, dan waktu seakan belum berpihak padanya. Kalau Bobby sampai tahu, Bobby pasti tidak akan melepaskan dirinya begitu saja. Di tambah lagi, ia tidak ingin menyakiti siapapun karena dirinya bukanlah orang jahat.
Sophie mempunyai angan untuk memiliki keluarga yang utuh yang sebenarnya ia impikan bersama Ronald dulu. Walau dirinya tahu, mungkin dirinya sudah tidak layak untuk memiliki impian itu. Ditambah dengan kesulitan yang membentang di antara dirinya dan Ronald, membuat mereka harus mampu bertahan. Keduanya sama-sama berada di posisi yang sulit dimana akhirnya mereka tidak bisa menikah.
Sophie menyadari kalau dirinya salah. Memiliki perasaan dan mencintai dua orang, adalah hal yang egois. Malam itu dirinya memang bertemu dengan Ronald, kekasihnya. Ronald dan Bobby sama-sama menerima keadaan Sophie yang tidak lagi utuh dan memiliki latar belakang yang buruk untuk seorang wanita. Namun berbeda dengan Bobby, Ronald mau mencintai Sophie. Tidak sama dengan Bobby yang mau membantunya tetapi tidak mencintai dirinya.
Satu ide muncul dalam benak Sophie. Ia segera mengambil ponselnya dan memencet nomor yang sudah diingatnya luar kepala. Tetapi belum sempat dirinya menekan tanda call di ponselnya, seseorang mengetuk pintu kamarnya pelan.
"Mama ..., " panggil Lilya. Ia mengintip dari pintu kamar mamanya.
"Mama kenapa?" tanya Lilya.
"Jangan ganggu mama, Lilya."
"Mama ... Mama sudah makan belum? Tadi Lilya makan nasi goreng buatan bi Inah loh. Enak. Mama mau? Biar Lilya ambilin."
"Lilya main saja di luar."
"Mama kan belum makan. Dari tadi saja, Lilya tidak lihat mama keluar kamar."
"Mama belum lapar Lilya." Kata Sophie sabar. Walau ia tidak suka perlakuan Bobby terhadapnya, tapi ia tidak bisa membenci putri tirinya. Lilya masih begitu kecil, dan Sophie manyayanginya seperti anaknya sendiri.
"Kalau begitu Lilya temenin mama di sini saja ya?" kata Lilya sambil beranjak masuk dan duduk di sebelah mamanya.
"Mama sedang sibuk Lilya. Keluar dan bermainlah dengan teman-teman."
"Tidak ah ... Lilya mau sama mama saja."Lilya bergelanyut di lengan Sophie.
"Mama lagi tidak mau di ganggu Lilya. Sana ... ajak saja Mbok atau Alley main di depan."
"Tapi Lilya mau sama mama ...," rengek Lilya.
"Lilya... jangan manja!" bentak Sophie. Mau tak mau Lilya terkejut.
"Mama ..., " kata Lilya takut.
"Lilya, Maafkan mama. Tapi mama benar-benar butuh waktu sendiri." Sophie menatap Lilya, dan melihat air mata sudah menggembang di kelopak mata Lilya.
"Sayang, mama tidak marah. Lilya tahu kan, kalau mama sayang sama Lilya?" Tanya Sophie. Lilya mengangguk. Air matanya menetes.
"Kalau begitu Lilya main diluar ya. Ajak Alley main ke rumah." Lilya mengangguk lagi, namun tidak juga beranjak dari kasur.
Sophie menghela napas panjang. Ia tidak pernah bisa marah dengan Lilya, karena ia begitu manis. Sophie lalu berdiri, melempar ponselnya ke atas kasur, lalu beranjak keluar dari kamar, tanpa berbicara apa-apa lagi. Ia sadar, Lilya menatap kepergian dirinya dengan bingung.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet One
RomanceMasa lalu yang sempat menghilang dari ingatan Lilya, pelan-pelan mulai mencuri posisi untuk dapat kembali masuk ke dalam ingatannya. Satu per-satu, peristiwa demi peristiwa, mulai mengingatkan kembali kenapa dirinya tidak berdiri di kota kelahiranny...