Malvin
Malvin baru benar-benar beranjak pergi dari bandara ketika ia melihat gadis itu masuk ke dalam taksi. Lagi-lagi gadis itu menyentuh hatinya dengan hal konyol. Karena terlalu panik mencari ponselnya yang hilang, ia malah meninggalkan kedua tasnya begitu saja diluar bandara. Pantas saja tanpa babibu ia langsung meninggalkan Malvin setelah mendapatkan ponselnya, rupanya ada hal lain yang membuatnya kembali panik. Gadis yang unik. Batin Malvin gemas.
"Den Malvin?" panggil seseorang. Seorang bapak separoh baya berdiri tidak jauh darinya.
"Saya di minta Tuan Benny untuk menjemput anda." Kata orang itu. Malvin hanya bisa mengangguk ketika tasnya di masukkan ke dalam bagasi mobil.
"Bapak?" Malvin bertanya.
"Saya pak Rahmat, sopir pribadi Tuan Benny." Kata sopir tadi sambil tersenyum ramah sambil membukakan pintu mobil untuk Malvin.
"Berapa lama perjalanan ke rumah om Benny?"
"Kurang lebih satu jam, Den".
"Saya mau istirahat sebentar, tolong bangunkan saya begitu sampai." Kata Malvin, dan ia mulai mencari posisi yang enak untuk tidur.
"Baik, Den."
***
Lilya
"Iya mama. Lilya sudah sampai dengan selamat kok. Jangan panik gitu dong, ma." kata Lilya sambil menatap sekeliling rumahnya.
"Kamu sendirian disana, itu yang membuat mama ragu melepaskan mu dari kemarin. Mama bisa loh ikut kesana dan menemani Lilya di Jakarta." Suara mama terdengar cemas.
"Tidak perlu ma, Lilya kan sudah besar. Lagian mama kan belum bisa kemana-mana sama papa."
"Tapi kalau Lilya mau, mama bisa mengejar proses penyelesaian passport mama."
"Tidak perlu ma. Mama tenang saja. Lilya pasti aman dan enggak macem-macem kok disini." Lilya mencoba menenangkan.
"Cuma satu macam ya nak, tidak macam-macam." Suara mama terdengar lebih rileks.
"Oya, Lilya sudah makan?"
"Belum ma. Belum terbiasa mengikuti jam di Indonesia."
"Iya, mama kepikiran, Lilya pasti bingung disana."
"Enggak kok, ma. Nanti kalau lapar, Lilya tinggal cari makan saja di luar. Mama sama papa sudah makan?" tanya Lilya.
"Sudah sayang. Sepi tidak ada kamu di rumah."
"Ah mama..," jawab Lilya manja. Liya tau karena ia anak satu-satunya dalam keluarga, ia selalu mendapat perhatian lebih dari mama papanya.
"Lilya jangan sampai lupa pesan mama ya? Makan teratur, istirahat yang cukup, jangan...,"
"Jangan suka bergaul sama sembarangan cowok Jakarta karena cowok di Ausie dan Jakarta itu beda, jangan bicara sama orang asing, teruuuuuuus jangan lupa kunci pintu rumah kalau Lilya mau tidur, ya kan ma?" kata Lilya panjang lebar, memotong pembicaraan mamanya.
"Sophie! Jangan terlalu mencemaskan Lilya, ingat dia sudah 22 tahun!" terdengar suara Daddy dengan logat bule nya. Lilya tersenyum geli mendengar ucapan Daddy.
"Ah, dasar Daddy. Lilya, mama kan cuma kangen sama kamu."
"Iya mama sayang. Jangan terlalu khawatir, Lilya baik-baik saja kok disini."
"Ya sudah. Kamu harus istirahat yang cukup. Mama pasti sering-sering menghubungi kamu sayang."
"Iya ma, love you."
"Love you too darling!"
Hening. Hanya bunyi suara tv yang sudah dikecilkan ketika mamanya menelpon. Ia benar-benar sendirian sekarang, dikota kelahiran nya yang hampir terasa asing, tidak ingat akan masa kecilnya sama sekali. Namun tidak ada kekhawatiran di dalam dirinya. Walaupun mama suka mewanti-wanti untuk tidak kembali ke Jakarta, tapi tetap saja, Lilya ingin sekali mencari sesuatu yang hilang. Kenangannya akan masa lalu. Kenapa tidak ada satu memory pun yang tertinggal di ingatannya?
Kalau di pikir-pikir, sebenarnya Lilya cukup nekat sampai mau terbang ke Indonesia sendirian. Tapi toh dia sudah sampai dan tidak ada halangan untuk dirinya datang ke kota asalnya kan?
Lilya memegangi perutnya sambil tersenyum. Cacing-cacing di perutnya sudah meronta minta makan. Malam ini, ia akan menjelajahi sekitar kompleksnya sambil mencari makan. Lilya menarik jaket dinginnya dari kursi, memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas kecil miliknya, dan tidak lupa mengunci pintu depan rumahnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet One
RomanceMasa lalu yang sempat menghilang dari ingatan Lilya, pelan-pelan mulai mencuri posisi untuk dapat kembali masuk ke dalam ingatannya. Satu per-satu, peristiwa demi peristiwa, mulai mengingatkan kembali kenapa dirinya tidak berdiri di kota kelahiranny...