Malvin
"Kamu belum ketemu sama papa, Vin?" tanya om Benny sambil menyerup teh hangatnya.
"Belum om. Males ketemu papa."
"Kok begitu, Vin?"
"Papa terlalu sibuk sama kerjaannya. Lagian, yang minta saya datang kesini kan om." Kata Malvin. Ia tidak melepaskan matanya dari buku yang sedang ia baca.
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Vin. Papa mu itu sayang sekali padamu. Lagian papamu kan bekerja keras begitu untuk kamu juga."
"Oya? Tapi menurut saya, itu semua papa lakukan buat dirinya sendiri."
"Malvin, kamu itu sudah dewasa. Seharusnya kamu lebih mengenal sifat papamu."
"Bagaimana mau mengerti kalau sekalipun papa tidak pernah mengunjungi Malvin di Australia?" Malvin membayangkan dirinya sudah hampir 7 tahun sendirian di Australia, ketika papanya memutuskan untuk mengirimnya kesana. Buku yang ia baca, digenggamnya makin erat.
"Papamu sibuk, Vin."
"Om minta saya kembali ke Jakarta cuma untuk menasehati saya?" tanya Malvin, ia menatap omnya sekarang.
"Vin, sampai kapan kamu baru bisa bersikap lebih dewasa?"
"Saya sudah dewasa om, dan saya tidak perlu nasehat dari om." Kata Malvin tenang.
"Tapi jangan memandang papamu seperti orang yang sama sekali tidak peduli padamu!" kata Benny sedikit membentak.
"Om di minta papa untuk menasehati saya?"
"Malvin ...,"
"Om tidak perlu menasehati saya tentang papa. Saya yang tau pribadi papa. Saya yang merasakan itu semua, bukan om!" tandas Malvin.
"Tapi om yang tinggal dari kecil sama papamu. Om kenal watak papamu! Dia bukan orang yang jahat Vin. Kasihan papamu. Setiap hari dia sendirian yang mengolah perusahan besar yang sebentar lagi akan menjadi milikmu."
"Om, tolong. Ini bukan kali pertama om bicara seperti ini kepada saya. Saya tidak perlu itu semua, bahkan saya tidak minta. Saya cuma butuh papa mendampingi saya. Sekarang ini malah saya betah tinggal di Australia sendirian. Itu lebih baik om. Saya bisa mengembangkan kreasi saya dan bisa bebas di sana." Malvin mulai tidak betah duduk di tempatnya.
"Kamu kurang berkomunikasi dengan papamu, Vin."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan dengan papa, om."
"Sudahlah. Om tidak mau berdebat denganmu, lebih baik kamu istirahat." Kata Benny menutup argumennya dan beranjak dari ruang tamu.
Malvin menatap kepergian om nya sambil menghembuskan napas berat. Om nya tidak akan mengerti mengapa ia bersikap seperti itu terhadap ayahnya.
Malvin sendiri belum mengantuk. Mungkin karena perbedaan waktu Indonesia dengan Australia, jadi ia memilih beranjak ke teras untuk mencari udara segar. Hatinya kalut setelah berdebat dengan om nya.
Di teras Malvin bertemu dengan pak Rahmat. Rahmat terlihat kaget saat mendapati Malvin keluar dari dalam rumah.
"Belum tidur, Den?" tanya pak Rahmat.
"Bapak sendiri belum tidur?" Tanya Malvin balik.
"Kalau jam segini, saya belum bisa tidur Den. Masih "pagi" kata anak jaman sekarang." Kata Rahmat sambil tertawa. Malvin mengambil tempat duduk di sebelah pak Rahmat.
"Den tidak capek perjalanan?" tanya pak Rahmat.
"Panggil saya Malvin saja pak."
"Ah, mana mungkin saya memanggil nam, Den. Saya kan cuma supir di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet One
RomanceMasa lalu yang sempat menghilang dari ingatan Lilya, pelan-pelan mulai mencuri posisi untuk dapat kembali masuk ke dalam ingatannya. Satu per-satu, peristiwa demi peristiwa, mulai mengingatkan kembali kenapa dirinya tidak berdiri di kota kelahiranny...