"Irene Adhi Wijaya." Nama itu mengalir begitu saja, keluar dari mulut Seulgi yang masih komat-kamit mencoba mencerna situasi yang terjadi padanya belakangan ini.
Sudah berhari-hari sejak kepulangannya dari rumah dimana ia baru menyadari bahwa Irene adalah teman masa kecilnya. Dan sudah berhari-hari pula Seulgi tidak bisa tidur tenang karenanya.
Apakah mungkin seniornya itu benar-benar teman masa kecilnya?
Ini terlalu aneh.
Jika benar seniornya itu adalah teman kecilnya, bagaimana mungkin Seulgi tidak pernah melihat Irene di sekitar komplek rumahnya sama sekali?
Bahkan semenjak dia masih sekolah dan sekarang sudah berkuliah, tidak pernah sekalipun ia melihat Irene di sana.
Bukankah mereka seharusnya masih bertetangga?
Dan jika Irene memang temannya, mengapa dia seolah tidak mengenali dan justru bersikap dingin kepadanya selama ini?
Semua ini tentu tidak akan berubah rumit jika saja Irene mau berterus terang dari awal.
Lagipula Seulgi tidak akan mengungkit masalah kamar mandi dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Dia akan berusaha bersikap senormal dan sebiasa mungkin tanpa menimbulkan kecurigaan setiap ia melihat, bertemu atau sekedar berpapasan dengan Irene di koridor kampus.
Entahlah, Seulgi sudah terlalu pusing dibuatnya. Tidak seharusnya ia memikirkan masalah ini lebih jauh.
"Seulgi!"
Langkahnya otomatis terhenti dan hal pertama yang baru Seulgi sadari adalah ia sekarang tengah latihan dan berada di lapangan basket bersama rekan satu timnya.
"Seulgi! Awas!!!!"
Dan hal kedua yang disadarinya setelah teriakan itu adalah adalah fakta bahwa bola basket yang mereka gunakan sekarang sedang melesat cepat ke arah wajahnya.
Belum sempat bergerak untuk menghindar, kepala Seulgi sudah terhempas ke belakang seiring dengan kuatnya dorongan bola. Ia terhuyung dan langsung jatuh terduduk, menahan sakit di sekujur wajahnya setelah menjadi sasaran bola.
"Seulgi!! Lo gapapa???? Maaf gua ga sengaja!"
Di antara bunyi derap kaki yang berlari ke arahnya, sayup-sayup terdengar suara Jennie, seniornya di tim basket yang ternyata menjadi penyebab mati rasa sesaat yang dialami hidungnya.
Seulgi memejamkan matanya. Dia tidak lagi bisa membedakan wajah orang-orang yang mengerubunginya ketika dia sempat mendongak untuk melihat sekilas.
Ia merasa pusing, bagian di sekitar hidungnya sekarang berdenyut nyeri tidak karuan.
"Permisi! Minggir! Minggir!"
Seulgi mengenali suara itu. Membuka sebelah matanya, Seulgi melihat Wendy dan Krystal sudah berada di hadapannya dengan ekspresi khawatir.
"Lo gapapa?" Tanya Wendy sambil mencoba mendekat untuk melihat wajahnya lebih jelas. Jarinya yang lentik menyentuh hidung Seulgi untuk beberapa detik dan gadis itu langsung meraung kesetanan, membuka matanya lebar-lebar seraya menjauhkann tubuhnya dari jangkauan sahabatnya. "SAKIT BANGSAT!"
Wendy langsung menarik tangannya dan tertawa kecil. "Sorry, gua kira ga sakit."
"Menurut lo aja," balas Seulgi masih meringis. "Sini gua lempar pake bola biar lo ngerasain sendiri."
"Seul hadap ke atas," sentuhan lembut di dagunya membuat Seulgi berhenti menatap tajam Wendy.
"Lo mimisan."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE [SeulRene] ✓
Fanfictionde·sire dəˈzī(ə)r/ A sense of longing or hoping for a person, object, or outcome. Note: Cerita ini settingnya di Indonesia, beberapa nama pun agak diubah untuk penyesuaian (walaupun memang membayangkan artis korea sebagai karakter di dalamnya). Ang...