"Aku nanti bakal jarang ke kampus."
Seulgi berhenti menyendok patbingsoo di hadapannya, melihat Irene yang juga sudah berhenti makan di seberang meja. "Mulai minggu depan aku bakal magang tiga bulan di perusahaan Asuransi untuk tugas akhir."
"Oh?" Balasnya sedikit kikuk. "Bukannya kakak masih ada kelas?"
Irene menggeleng, membiarkan ponselnya yang sedari tadi bergetar, diam di atas meja.
Seulgi melirik sekilas ke arah Irene dan seniornya itu hanya membalik ponsel miliknya sehingga layar yang tadinya dapat dilihat kini menghadap permukaan meja. "Ga ada. Semester ini aku cuma sibuk ngurusin ospek sama persiapan buat tugas akhir. Ngumpulin data sekunder kayak kuisioner kemaren yang aku kasih ke kamu."
"Loh tapi yang waktu itu aku salah masuk kelas, bukannya ada kakak di sana ya?"
"Oh yang pas ponsel kamu ketinggalan itu?" Irene tertawa kecil dan wajah Seulgi berubah merah karena malu dengan kejadian waktu itu. Dia rasa wajahnya sudah sama merahnya dengan kemeja flanel yang ia kenakan. "Iya yang insiden ponsel ketinggalan kak."
"Aku masuk kelas Pak Arsen biar selesai kelas bisa langsung ketemu. Beliau itu dosbing kedua aku dan susah banget buat ditemuin karena selalu sibuk walaupun ya ketemunya cuma bentar. Jadi sekalian tongkrongin kelasnya aja sambil dengerin materi lagi."
Seulgi berdeham lalu mengernyitkan dahinya. "Tunggu sebentar kak, aku baru sadar. Bukannya yang jadi panitia ospek jurusan itu harusnya dua atau satu tingkat di atas mabanya ya? Kakak kan tiga tahun di atas aku, kok masih ikutan ngurus?"
Irene mengangguk, membenarkan jawaban Seulgi. "Emang harusnya gitu, tapi panitia 2011 yang dua tingkat di atas kamu itu kurang orang buat divisi yang krusial kayak komisi disiplin sedangkan anak 2012 masih jadi staff dan belum boleh masuk divisi tadi. Kalo kamu mikir kita kemaren marah-marah ga jelas pas ospek, kamu itu salah besar. Ga sembarang orang bisa masuk divisi itu, karena tugasnya ya mendisiplinkan dan memberi contoh yang benar."
Ia lanjut menjelaskan. "Makanya aku kemarin ikut ambil bagian jadi komisi disiplin yang tiap tahun pasti bakal dihujat diam-diam sama maba walaupun kita beda tiga angkatan."
Seniornya itu sekarang menatapnya dengan senyum. "Kamu termasuk yang ngehujat juga ya?"
Seulgi menarik topinya turun menutupi sebagian wajahnya. Tanpa dia sadari, ia mulai mengaduk es di dalam mangkoknya dengan gerakan memutar.
Bagaimana Irene bisa tahu?
"E-eng iya kak. He. He. He." Seulgi kemudian menggeleng dengan cepat, mencegah kesalahpahaman timbul di antara mereka. "Tapi sekarang engga kok kak. Aku tobat."
"Oh ya?"
Irene memajukan tubuhnya, menopang dagu sambil menatapnya balik dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya. "Aku masih simpen buku dari kamu loh."
"Buku?" Seulgi mendongakkan topinya, melihat Irene tengah mengangguk. "Buku apa?"
"Buku hukuman kamu."
"Ohhhhhh.... Kenapa masih disimpen kak? Tulisan di akhir itu acak-acakan karena udah setengah ngantuk pas nulisnya." Seulgi meringis, mengingat masa kelamnya sambil terus mengaduk esnya sampai larut. "Loakin aja kak. Daripada disimpen ga dipake mending dijadiin bungkus cabe."
"Ih ngapain?"
"Biar bermanfaat kak."
"Disimpen juga bermanfaat."
"Lah?"
"Itu pemberian dari kamu makanya aku simpen karena bermanfaat."
Seulgi melepas sendok dari genggamannya, menggaruk tengkuknya asal karena jawaban dari Irene barusan telah membuatnya salah tingkah. "Oh....."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE [SeulRene] ✓
Fanfictionde·sire dəˈzī(ə)r/ A sense of longing or hoping for a person, object, or outcome. Note: Cerita ini settingnya di Indonesia, beberapa nama pun agak diubah untuk penyesuaian (walaupun memang membayangkan artis korea sebagai karakter di dalamnya). Ang...