"Ayah masih ga ngerti kenapa dari dulu kamu ga pernah mau Haneul ayah ajak makan di rumah. Ini bukan kamu yang gamau kan?"
Irene mengangkat pandangannya dari piring berisi makan malam miliknya. Hari ini hanya ia yang memenuhi ajakan makan dadakan ayahnya tempo hari. Beruntung Haneul mengikuti sarannya untuk menolak undangan makan malam sepihak tersebut. Setidaknya ia tidak harus berpura-pura dalam hubungan itu lagi.
"Bukan aku gamau. Haneul ngasih tau sendiri kan ke ayah kalo dia lagi ada kerjaan di luar kota?" Irene menjeda makannya saat sang ayah terlihat tidak puas dengan alasannya. "Bukan yang sekarang aja, Irene. Dari dulu masa alasannya selalu itu?"
"Ya, karena emang dia sibuk. Lagian kenapa ayah malah nanya Haneul duluan sih bukan aku? Anaknya ayah itu Haneul atau aku?"
Pria di seberang mengedikkan bahu. "Memang kenapa? Toh kalian sudah lama pacaran, Haneul itu udah kayak anak ayah sendiri."
Irene terdiam sejenak sebelum akhirnya bersuara. "Aku sama Haneul udah ga bareng lagi, yah."
"Maksud kamu putus?" Alis pria itu perlahan terangkat. "Kalian ada masalah?"
Menyadari ayahnya sudah tidak lagi menyantap makanan membuat Irene menghela napasnya pelan. "Aku sama Haneul ga cocok."
"Ga cocok di sebelah mananya?"
Pertanyaan dari ayahnya membuat Irene kembali memutar otak. Tangannya sudah berhenti menyendok. "Ya, di semuanya. Kita lebih cocok temanan."
"Irene kamu udah dewasa. Hubungan itu seharusnya-"
"Aku tau dan itu keputusanku, yah. Kalo aku ga cinta dia lalu aku bisa apa? Aku ga bisa maksain hubungan itu kan?" Potong Irene seraya menatap kedua mata ayahnya yang sekarang melebar. Sekalian saja mengeluarkan unek-unek yang dipendamnya sejak dulu pikir Irene dalam hati. Ia menjeda kalimatnya sebelum bertanya dengan nada pelan. "Sama kayak hubungan ayah dan mama yang ga bisa dipaksa, bukan?"
Suara gebrakan meja dan dentingan alat makan sudah cukup menjadi pertanda bahwa ayahnya tengah marah sekarang. Pria itu menatapnya tajam dari seberang, namun Irene tidak gentar di tempatnya. "Kamu gausah bawa-bawa itu lagi."
"Tapi bener kan? Sesuatu yang dipaksa itu pasti ga berakhir baik, yah." Sambung Irene kemudian, yang membuat ayahnya terdiam sesaat.
"Kamu ga akan pernah ngerti, Irene."
"Apalagi yang ga akan aku ngerti?" Tanya Irene lagi dengan alis yang menaut. "Kalo ayah udah misahin mama dari orang yang dia cinta?"
"IRENE!"
Keras teriakan ayahnya tidak membuat Irene diam. Ia justru kembali menyuarakan isi hatinya.
"Apa? Aku bener kan, yah? Bahkan dari awal, mama ga salah." Ia menggeram balik. Matanya merah menahan amarah. "Lalu sebenarnya siapa yang maksain kehendak? Kenapa justru nyalahin perlakuan mama kalo emang dari awal ayah yang ngebuat mama tersiksa?"
"Kamu ga akan ada di sini kalo ayah-"
"Oh, jadi ayah mengakui itu semua?" Timpal Irene telak yang membuat ayahnya menarik napas panjang. "Dan lagi, aku lebih milih ga dilahirin daripada harus ngeliat orang tuaku ga bener-bener cinta."
"Irene, cukup. Kamu ga perlu bela wanita itu lagi."
"Tapi wanita itu, mamaku." Lanjut Irene dengan nada tegas.
Ayahnya mendengus keras, balas menatapnya serius. "Apa yang sebenarnya kamu mau?"
"Aku cuma minta dua hal dari ayah. Selama ini aku selalu nurut sama ayah dan ga pernah ngebantah, jadi aku harap ayah bisa ngerti dan ngabulin permintaanku." Irene menunjukkan dua jarinya. "Pertama, berhenti ngusik mama karena dia udah bahagia dengan kehidupannya yang sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE [SeulRene] ✓
Fanfictionde·sire dəˈzī(ə)r/ A sense of longing or hoping for a person, object, or outcome. Note: Cerita ini settingnya di Indonesia, beberapa nama pun agak diubah untuk penyesuaian (walaupun memang membayangkan artis korea sebagai karakter di dalamnya). Ang...