“Ren...”
Gadis yang namanya disebut itu mengalihkan fokusnya dari layar laptop sembari melenguh pelan. Rasa kantuk akibat kurang istirahat membuat Irene berkali-kali harus menguap di sela waktunya menyelesaikan tugas akhir. Ia menoleh dari atas kasur. “Apaan Tiff?”
Tidak jauh berbeda kondisinya, Tiffany yang tengah duduk di hamparan karpet miliknya terlihat sedang merapikan tumpukan kertas hasil cetakan printer dengan wajah lelah. Mereka berdua tengah berada di apartemennya sebelum nanti sore menuju kampus untuk menyelesaikan pendaftaran sidang. “Kamu udah dapet acc dari dosen pembimbing kan?”
Irene mengangguk. “Udah dong. Tau sendiri dia sibuk kayak apa kalo ga dimintain jauh-jauh hari bisa telat daftar.”
“Nah iya baru mau bilang, ini hari terakhir daftar soalnya. Baru inget, ih. Pasti yang daftar ngantri, jangan-jangan bisa sampe malem nih.” Keluh Tiffany yang disambar Irene dengan gerutuan. “Sampe pagi buta juga bisa. Semester kemarin senior-senior ada yang ngantri sampe pagi buat ngumpulin berkas skripsi.”
Irene kembali lanjut mengoreksi tulisan yang tertera pada bahan presentasi di laptopnya. “Makanya kan udah aku ajakin dari kapan tau buat daftar. Kamu maunya nanti-nanti mulu.”
“Yakan aku belom selesai, Reeen...” Sungutan Tiffany terdengar nyaring sebelum gadis itu memekik dengan nada riang. “Tapi makasih udah ditungguin ya sahabatku!”
Irene menggeleng dengan ekspresi datar. Matanya melirik usil ke arah Tiffany. “Makanya jangan bucinin pacar mulu. Kelarin itu skripsi.”
Sahabatnya langsung memanyunkan bibir. “Kan biar semangat, Ren.”
“Iya tapi jangan sampe bikin kamu hilang fokus juga.” Irene mengedikkan bahunya seraya menggerakkan kursor. “Ga selamanya semua itu harus tentang pacar kan?”
“Wih, beda ya yang gaya pacarannya dewasa banget. Tapi emang kamu sama kak Haneul ga kayak gitu?”
Telunjuk Irene yang tengah berada diatas touchpad laptop berhenti bergerak begitu mendengar nama Haneul disebut. Ah, rupanya ia lupa memberi tahu status terbarunya itu pada Tiffany. “Tiff.”
Gadis itu lantas menatapnya dengan raut bingung. Mungkin ekspresi di wajahnya sekarang menandakan bahwa pembicaraan mereka entah mengapa mengarah serius. “Aku udah ga sama Haneul lagi.”
“HAH? SERIUSAN?!”
“Iya.” Ulang Irene lagi agar Tiffany berhenti meminta pengulangan informasi. “Aku sama dia udah putus.”
Tiffany masih menatapnya dengan mata yang melebar. Raut tidak percaya terpatri di wajahnya. “Tapi kenapa, Ren? Kalian bukannya keliatan baik-baik aja? Bukannya dia serius sama kamu?”
Irene menghela panjang napasnya. Semua orang pasti akan berpikiran bahwa keputusannya itu mengada-ngada. Mengingat bahwa Haneul bisa dikatakan nyaris sempurna sebagai sosok pendamping untuknya, namun Irene tidak bisa berpendapat demikian. Sekeras apapun usaha yang ia lakukan untuk merubah keadaan, namun hatinya tetap tidak bisa memilih Haneul menjadi tempatnya berlabuh. “Keliatan baik-baik bukan berarti keadaan sebenernya juga baik-baik aja kan, Tiff?”
***
Irene berkali-kali mengucap syukur setelah berkas untuk pendaftaran sidang miliknya telah diterima meski harus menunggu hingga pukul sepuluh malam di ruangan tata usaha. Dan entah mengapa begitu keluar dari gedung departemennya sembari melangkah pelan menuju parkiran fakultas seorang diri, ia tidak lagi merasakan kantuk. Padahal sejak tadi dirinya beberapa kali hampir saja tertidur jika bukan karena Tiffany yang sigap membangunkannya. Namun sahabatnya itu sudah lebih dulu pamit selepas sama-sama mengumpulkan berkas skripsi—ada janji yang penting katanya. Irene mencibir dalam hati, paling juga janji dengan pacarnya itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE [SeulRene] ✓
Fanficde·sire dəˈzī(ə)r/ A sense of longing or hoping for a person, object, or outcome. Note: Cerita ini settingnya di Indonesia, beberapa nama pun agak diubah untuk penyesuaian (walaupun memang membayangkan artis korea sebagai karakter di dalamnya). Ang...