"Wey," bisikan itu datang dari barisan belakang dan Seulgi, sedikit pun tidak mau menggubris panggilan tersebut. "Seul,"
Dia mengernyit tidak suka saat tepukan keras di pundaknya itu hampir membuatnya terjengkang ke depan. Bukan sekali atau dua kali, Wendy sudah melakukannya berkali-kali. Entah kesenangan apa yang dirasakan sahabat barunya itu dari pukulan yang disarangkan ke pundaknya.
Tapi Seulgi tetap bersikukuh mendiamkannya.
Kedua matanya masih tertutup rapat, tadi malam dia mengerjakan tugas mata kuliah dan tugas dadakan ospek hingga larut malam.
Bisa-bisanya baru diberitahu H-1.
Akibatnya Seulgi jadi kurang tidur dan hampir telat absensi pagi, tapi untungnya dewi fortuna masih berada di pihaknya karena jadwal acara untuk kegiatan ospek hari itu diundur tiga puluh menit lebih lama.
"Ada kesalahan teknis katanya,"
Seulgi mengingat perkataan Wendy saat menyambutnya tadi.
Karena tugas dadakan yang menguras energi itulah Seulgi merasa dia berhak untuk mengistirahatkan badannya sejenak. Lagi pula acaranya juga belum mulai.
"Seulgi." Wendy kembali berbisik dari belakang. Tangannya masih tidak berhenti menepuk pundak. "Seulgi."
Merasa jengah, Seulgi langsung membuka matanya dengan kesal. Belum sempat menengok ke belakang untuk mengomeli Wendy, mulut Seulgi langsung terkatup rapat saat dia melihat seorang gadis berpakaian almamater kampus berada tepat di depannya.
Ban hitam yang tersemat di lengan kirinya membuat Seulgi menelan ludah gusar.
Dia berada dalam masalah besar.
"Kamu." Mata gadis di depannya kemudian memicing. "Keluar dari barisan. Sekarang."
***
Pertemuan Seulgi dengan senior tersebut sebenarnya bukan yang pertama kali.
Mereka pernah bertemu di hari pertama ospek departemen. Pertemuan mereka pun boleh dikatakan meninggalkan kesan yang sangat mendalam bagi Seulgi. Dia sangat merutuki nasib buruknya hari itu.
"Memangnya kamu tinggal di mana sampe bisa terlambat dua puluh menit?"
Mata Seulgi mengerjap panik. Coba saja dia tadi malam tidak keasikan nonton film, mungkin dia sekarang sudah bahagia berada di barisan anak-anak yang datang tepat waktu. Seulgi menahan napas ketika gadis dengan mata cokelat itu menatapnya balik. Dia makin takut terkena omelan karena tempat tinggalnya memang berada di dalam kampus. "Di asrama kak."
"Hah? Asrama?"
Seulgi memilih meratapi noda tanah di ujung sepatu putihnya dari pada melihat seniornya yang mungkin sekarang sudah ingin memakannya hidup-hidup.
"Coba kamu tanya teman kamu di samping itu, dia tinggalnya di mana."
Seulgi masih menatap bingung sampai gadis di depannya membentak. "Cepetan!"
Merasa nyawanya terancam, Seulgi buru-buru menoleh ke sebelah untuk menanyakan gadis sebayanya yang datang terlambat juga. "Kamu tinggal dimana?"
"Di Jakarta Utara." Jawab gadis berambut cokelat tersebut perlahan.
"Dia tinggal di mana?" Seniornya bertanya kemudian. Seulgi yakin seniornya itu mendengar percakapan mereka, tapi kenapa dia masih bertanya juga. Menyebalkan. "Di Jakarta Utara kak."
"Terus kenapa dia bisa datang lebih awal dari kamu yang tinggalnya di asrama?!"
Seulgi sontak kaget saat diteriaki seperti itu.
Dan lebih kaget lagi saat gadis yang lebih pendek itu maju dan menyamakan tinggi mereka, berusaha mengintimidasi dengan sorot matanya yang dingin.
Setelah diomeli face-to-face oleh seniornya, Seulgi kemudian disuruh berlari ke meja absensi pasca melakukan squad-jam sebanyak lima puluh kali di tempat.
Seulgi sadar dia pantas dihukum karena terlambat di hari pertama, namun dia tidak mengira hukumannya akan seperti ini. Dia pergi ke kampus untuk belajar, bukan wajib militer.
Oleh karenanya, Seulgi sangat berharap dia tidak akan bertemu dengan senior galak itu lagi.
Namun sayang, dewi fortuna tidak mengabulkan doanya kali ini karena Seulgi harus kembali berurusan dengan gadis yang sama dan kemungkinan besar terkena hukuman yang tidak diinginkannya.
***
"Tadi itu gua nepuk keras biar lo cepet sadar kalau Kak Irene udah ngeliatin gerak-gerik lo dari tadi." Wendy berujar saat dia melihat sahabatnya itu hanya memainkan makanannya dengan malas. "Tapi lonya gak bangun-bangun dari tidur."
Seulgi hanya diam. Ingatannya masih berputar-putar.
"Lagian bisa-bisanya lo tidur berdiri kayak patung." Kaisar yang duduk di sebelah Wendy berkomentar. Dia mengaduk minumannya sambil menatap Seulgi, mulai prihatin karena Seulgi tidak melahap makanannya sama sekali. "Emang seberapa parah sih?"
"Apanya yang parah?" Wendy bertanya pelan. Tangannya dengan sigap menghentikan Seulgi yang tengah mengaduk-aduk makan siangnya. "Udahan, Seul. Ga boleh mainin makanan."
"Ya hukumannya lah." Kaisar menjawab pendek.
Seulgi mengangkat kepalanya. "Disuruh nulis satu buku 'saya tidak akan mengulangi perbuatan tersebut' terus dikumpulinnya besok."
"Dih," Kaisar mendelik. "Bocah banget."
"Nah, emang." Seulgi mendecih. Meskipun dia agak sedikit bersyukur karena tidak menerima hukuman fisik.
"Mau gua bantuin nulis ga?" Wendy menawarkan, yang langsung disambut gelengan pelan Seulgi. "Tulisan lo kebagusan." Dia tersenyum penuh arti. "Kalo mau lo bantuin tugas itung-itungan gua aja."
"Ye gatau diri." Seulgi hanya tertawa saat dia mendengar cibiran sahabatnya. Dia menengok ke arah Kaisar yang lagi asik menyeruput es teh. "Kai, kok lo ga nawarin mau bantuin gua kayak Wendy sih? Temen macem apa lo?"
"Ngapain? Yang ada nanti mereka ga bisa baca tulisannya terus lo dihukum lagi."
"Oh iya tulisannya lo kayak ceker ayam." Seulgi berseloroh, membuat Wendy ikut tertawa bersamanya. Mereka tahu seberapa jelek tulisan Kaisar saat mereka meminjam catatan pengantar akutansi miliknya.
Kaisar mengangkat jari tengahnya sebelum kembali meneguk habis es teh di depannya.
"Setan lo berdua."
***
Hi! Baru mulai nulis cerita, kalo responnya bagus saya bakal lanjut~
Happy reading! xoxoOh iya, bayangin Jongin yang jadi Kaisarnya ya wkwkw
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE [SeulRene] ✓
Fanficde·sire dəˈzī(ə)r/ A sense of longing or hoping for a person, object, or outcome. Note: Cerita ini settingnya di Indonesia, beberapa nama pun agak diubah untuk penyesuaian (walaupun memang membayangkan artis korea sebagai karakter di dalamnya). Ang...