“Dek…?”
Sentuhan lembut di pucuk kepalanya membuat Seulgi tersentak dari lamunan sesaatnya tentang seseorang yang belakangan ini selalu memenuhi isi kepalanya.
Seulgi juga tidak tahu mengapa ia sampai bisa memikirkan gadis tersebut di sela-sela waktu senggangnya.
Irene bukanlah siapa-siapanya.
Dia hanya seorang senior yang kebetulan menaruh rasa suka padanya, namun dengan cara yang menurut Seulgi tidak biasa.
Terlalu ekstrim.
Ya… ekstrim, karena ini pertama kalinya Seulgi mengetahui ada perempuan yang menaruh perasaan lebih padanya.
Kebenaran fakta bahwa Irene menyukainya pun belum terbukti sampai sekarang. Toh Seulgi juga tidak bisa membayangkannya terjadi.
Ia bahkan tidak bisa mendeskripsikannya sendiri. Seulgi bingung harus bersikap apa di depan Irene nanti.
Dia sudah terbiasa dengan sosok Irene yang dingin, tidak peduli dan terkesan membencinya. Bukan sosok Irene yang diam-diam memendam rasa suka padanya.
Dan setelah perbincangannya dengan Wendy di kantin pada hari itu, Seulgi akhirnya memilih menjaga jarak dengan seniornya untuk sementara waktu.
Ia menengadah ke atas, melihat senyum manis mengembang di bibir tipis kakak laki-lakinya.
“Kamu udah makan?” Tanyanya seraya menepuk pelan kepala Seulgi.
Seulgi balas tersenyum dan mengangguk mantap. “Udah dong kak. Emang kak Haneul ga ngecek rice cooker? Nasi disitu kan aku semua yang abisin tadi,” ujarnya bangga dan kemudian terkekeh. “Tapi aku udah minta tolong bi Iyem sih buat masak lagi.”
Haneul tertawa lalu mengacak rambutnya gemas. Ia berjalan mengitari sofa untuk duduk di sampingnya. “Kapan kamu pulang?”
“Tadi jam tiga sore kak.” Jawab Seulgi sambil melipat kedua kakinya di atas sofa berwarna merah tua dan mulai bersandar di bahu kakaknya yang lebar, melepas penat.
Suatu kebiasaan yang sering dia lakukan dari dulu, ia selalu merasa nyaman berada di dekat kakaknya itu. Rentang usia yang terbilang lumayan jauh, tidak menjadi halangan kedekatan mereka sebagai saudara kandung. Lagipula Haneul memiliki wajah yang tergolong awet muda, tidak akan ada yang menyangka bahwa ia dan kakak laki-lakinya itu terpaut usia delapan tahun.
“Kereta ga penuh? Kamu kan kurus yang ada kamu didorong-dorong ibu-ibu ganas di gerbong perempuan.”
“Ga terlalu sih kak. Kalo udah diatas jam empat baru tuh aku ketoyor mulu kak makanya jadi males pulang. Apalagi kalo rush hour udah pasti susah napas.” Seulgi menggembungkan pipi karena sebal. “Bilangin mama cepetan kasih aku motor dong kak. SIM aku jadi ga guna nih padahal udah buat capek-capek waktu sekolah.”
Derai tawa mengisi ruang keluarga tempat mereka berada dan Seulgi tidak lagi bersandar ketika kakaknya sudah tertawa terpingkal-pingkal. Ia mendorong bahu kakaknya keras agar laki-laki itu sadar. “Gausah ketawa puas gitu dong! Adeknya lagi menderita gini masa situ seneng? Besok-besok aku ga pulang deh biar aja sebulanan aku ga balik ke rumah kayak jaman ospek!”
“Jangan dong nanti rumah sepi. Sempetin seminggu sekali pulang please?”
“GA.” Ketus Seulgi. “Kalo di rumah dijailin mulu.”
“Soalnya kamu lucu sih!” Pekik Haneul masih dengan tawanya yang menggelegar.
“Pantesan belom dapet jodoh adeknya aja diginiin terus.” Cibir Seulgi balik seraya mengambil remote dan menghidupkan televisi. Kemudian tanpa basa-basi menyetel volume suara sekencang mungkin sampai ia dengar Haneul menyudahi tawanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE [SeulRene] ✓
Fanfictionde·sire dəˈzī(ə)r/ A sense of longing or hoping for a person, object, or outcome. Note: Cerita ini settingnya di Indonesia, beberapa nama pun agak diubah untuk penyesuaian (walaupun memang membayangkan artis korea sebagai karakter di dalamnya). Ang...