27. Secercah Harapan

5.6K 795 433
                                    

“Lo seharusnya gausah ikut stay di sini. Dari kemaren lo belom balik ke kosan cuma buat nemenin gua di sini.” Seulgi mengerlingkan matanya ke arah pintu kamar sesaat setelah Krystal dan Kaisar pamit untuk pulang. Ia lalu mengalihkan atensinya ke arah gadis berwajah pucat yang sedang duduk menempati sofa berwarna krem di sudut ruangan, nampak sibuk membaca majalah kesehatan yang ditemukannya di bawah meja. “Mending ikut balik aja sama mereka. Gua seriusan ga kenapa-kenapa, buktinya gua ga perlu lagi pake masker atau semacamnya yang butuh penanganan lebih lanjut. Gua udah baikan.”

Seulgi menatap Wendy yang masih setia dengan bacaannya. “Lagian kata dokter juga besok gua udah boleh keluar. Sehari diopname di sini lagi buat jaga-jaga doang kok, Wen.”

“Lu nyuruh gua pulang berasa Depok-Bandung itu sebelahan, tinggal ngesot nyampe.” Wendy menjawab santai seraya membalik lembar demi lembar majalah yang masih dipegangnya tanpa menoleh ke arahnya. Kedua mata gadis itu masih saja terfokus di sana, seolah ia benar-benar paham dengan apa yang tengah dibacanya dan Seulgi sangsi. Itu majalah hidup sehat. “Udah nanggung.”

“Tapi lo jadinya bolos kuliah, Wen.”

“Santuy, ada Kai sama Krystal. Gua bisa titip absen. Lagian....” Wendy mengangkat wajahnya lalu menampilkan seringai lebar yang membuat Seulgi berpikir bahwa sahabatnya sekarang nampak sepuluh kali lebih menyebalkan. “Lo pasti kesepian kalo gua tinggal.”

“Jangan sampe gua panggil suster buat ngusir lo.” Seulgi balas menatap sambil membenarkan selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya. “Serius deh, Wen. Gua ga mau ngerepotin.”

Perlahan tangan Wendy bergerak untuk menutup majalah dan menaruhnya di tempat semula. “Lo dari awal juga udah ngerepotin.”

“Makanya gua ga mau nambah ngerepotin.” Tekan Seulgi di akhir kalimat yang sukses membuat Wendy tergelak. Gadis itu lalu menatapnya sedikit lebih lama. “Gua minta maaf buat yang kemarin, Seul.”

Seulgi terhenyak dalam kebisuan dan beralih memandang sendu selimut yang menutupi kakinya. Ia mengerti maksud tatapan yang diberikan Wendy padanya tadi. Menarik napas lemah, Seulgi akhirnya membuka mulut untuk berbicara. “Lo ga seharusnya minta maaf. Emang itu kenyataannya. Kakak gua emang selalu lebih baik dan gua itu ga lebih dari bayangannya.”

“Gua ga akan pernah bisa jadi yang pertama.” Bisik Seulgi pelan tanpa ada niatan untuk mengangkat wajahnya lagi. Jika mengenal Irene adalah suatu kesalahan, maka jatuh cinta pada Irene adalah kesalahan kedua dan juga terbesarnya. Ia tidak mau mendongak dan melihat sahabatnya yang mungkin saja tengah menatapnya iba sekarang. “Dan seterusnya akan seperti itu.”

“Seul…” Seulgi merasakan lengan kanannya disentuh lembut oleh Wendy yang sudah berdiri tepat di samping kasurnya. Ia mendongak, menatap balik sahabatnya.

“Kenapa gua bisa jatuh cinta sama dia? Dari sekian banyak orang yang ada di dunia, kenapa hati gua malah milih dia?” Tanya Seulgi tanpa berkedip. Sorot matanya menyiratkan rasa sakit. “Gua bahkan ga suka perempuan tapi dia pengecualian. Dia orang pertama yang ngebuat gua ngerasain cinta, Wen.”

“Klasik emang tapi mau gimana? Gua beneran gatau harus apa. Gua mau egois tapi gua ga bisa.” Jemari Wendy sudah terangkat untuk menyapu linangan air mata yang kembali jatuh tanpa ia sadari. Seulgi tersenyum tipis dan berterima kasih sebelum melanjutkan monolognya yang tertunda untuk sepersekian detik. “Semua kayak mimpi buruk yang jadi kenyataan. Terlalu sulit dipercaya tapi ya, itu semua nyata.”

“Kenapa gua mesti ngerasain sakit kayak gini? Apa mencintai orang itu wajar sesakit ini?” Tanya Seulgi lagi, masih menatap nanar sahabatnya. “Apa karena perasaan gua yang salah, jadi rasa sakitnya pun berlipat-lipat?”

DESIRE [SeulRene] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang