"Kak Irene."
"Hmm...?"
"Boleh nanya ga?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Seulgi tampaknya sukses menarik perhatian Irene yang tengah mengemudikan kendaraan.
Mereka sekarang berada di jalan pulang, setelah makan siang dan berkeliling di sekitar pusat perbelanjaan sambil melihat-lihat toko di sana. Keduanya lalu memutuskan untuk kembali ke kampus setelah menghabiskan waktu empat jam bersama.
Meski ingin berlama-lama di sana, baik Irene maupun Seulgi akhirnya memilih untuk menunda sesi jalan-jalan mereka karena keduanya masih memiliki agenda lain yang harus dikerjakan sore itu. Seulgi dengan latihan basketnya dan Irene yang masih punya janji dengan temannya.
"Tanya aja." Jawab Irene santai tanpa menoleh. Matanya masih fokus melihat jalan dan jemarinya mengetuk kemudi dengan teratur mengikuti ritme alunan musik yang berasal dari radio mobilnya.
"Kak Irene kok ga pernah balik ke rumah?" Seulgi menyandarkan kepalanya pada kaca mobil, melihat pemandangan di luar ikut bergerak bersamaan dengan mobil yang melesat menembus kemacetan. "Aku ga pernah liat Kak Irene selama di komplek rumah."
"Aku kan tinggal di apart, lebih gampang aksesnya daripada berangkat dari rumah, Seul."
"Iya aku tau, maksudnya aku juga tinggal di asrama tapi masih nyempetin pulang dua atau tiga kali sebulan." Seulgi mengangkat kepala lalu menoleh sepenuhnya untuk melihat Irene. "Kok Kak Irene enggak? Kakak emang ga kangen sama keluarganya Kak Irene?"
Alunan musik jazz dari radio itu kemudian mengisi keheningan yang ditinggalkan oleh pertanyaannya dan samar-samar Seulgi melihat guratan halus sekarang terbentuk di dahi lawan bicaranya.
Apakah ini topik yang tidak seharusnya dia sentuh?
"Aku udah ga tinggal lagi di sana." Jawab seniornya pelan, nyaris tidak terdengar termakan musik yang volume suaranya tidak lebih dari tiga.
Dan setelah jawaban singkat itu, tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka berdua. Seulgi mengamati Irene yang masih mengatupkan mulutnya rapat-rapat dengan kedua alis yang tertaut hampir saling menyentuh sambil tetap memandang lurus.
Seulgi menarik napas dan mengembuskannya pelan, mengerti bahwa arah pembicaraan mereka sudah terlampau personal untuk dibicarakan.
Mereka memang bersahabat, namun persahabatan itu pun belum terjalin dalam kurun waktu yang lama. Seulgi yakin mereka belum berada pada tahap di mana berbagi rahasia adalah hal yang nyaman untuk dilakukan satu sama lain. Meski Irene adalah teman kecilnya, bukan serta-merta mereka dapat menemukan kembali ritme pertemanan yang sempat hilang.
Mereka tidak dapat bersikap seperti sedia kala, seperti tidak ada yang berubah selama empat belas tahun mereka berpisah.
Mereka butuh waktu.
Karena nyatanya memang banyak hal yang sudah berubah dan tentu berpengaruh.
Hal-hal sensitif seputar keluarga misalnya, juga bukan topik yang mudah dibicarakan dengan orang baru sepertinya. Ya, tidak bisa dipungkiri Seulgi tetaplah orang baru di kehidupan Irene, teman kecilnya.
"Kak Irene tinggal di apartemen sendiri?" Tanya Seulgi mengalihkan pembicaraan seraya memundurkan kursinya sedikit ke belakang agar ia dapat meluruskan kakinya.
"Iya."
"Kapan-kapan aku main ya? Kak Irene juga boleh mampir kok ke asramaku." Seulgi menatap langit-langit mobil sambil meregangkan tangan, membunyikan buku jarinya. "Aku-"
"Stop."
"Hah?" Ia kembali membenarkan posisi duduknya, menatap bingung Irene yang tiba-tiba menyuruhnya berhenti bicara. "Kenapa kak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DESIRE [SeulRene] ✓
Fanficde·sire dəˈzī(ə)r/ A sense of longing or hoping for a person, object, or outcome. Note: Cerita ini settingnya di Indonesia, beberapa nama pun agak diubah untuk penyesuaian (walaupun memang membayangkan artis korea sebagai karakter di dalamnya). Ang...