Chapter 17

51K 3.5K 47
                                    

Hari ini adalah hari libur sekolah. Pagi ini Elia harus ke pom bensin untuk bekerja karena hari ini ia masuk shift pagi.

Kini pikirannya dipenuhi oleh sahabatnya. Sandra. Sahabatnya yang seakan tidak peduli lagi padanya. "Hutang! Gue gak boleh punya hutang sama dia!"

Sepulang kerja, Elia disambut oleh Ayah dan Ibunya di rumah. Elia pun segera mencuim kedua tangan orang tuanya itu setelah ia mengucapkan salam.

"Ada apa Bu?" tanya Elia pernasaran karena melihat raut muka kedua orang tuanya yang terlihat sedih.

"Sayang, bisa kita bicara?" ucap Ibunya.

"Tentu."

Mereka bertiga pun duduk di ruang tengah rumah sederhana tersebut.

"Sayang, akhir-akhir ini, kita lihat, kau terlihat sedih. Sayang, kalau kamu tidak kuat belajar sambil bekerja, lepaskan saja pekerjaanmu Sayang," terka Ayahnya yang mengira kesedihan Elia dikarenakan rasa capeknya.

Elia tersenyum ringan. "Ayah, Ibu, jangan khawatir dengan Elia! Elia gak sedih. Elia malah sangat senang dapat pekerjaan ini."

"Sayang, Ibu tahu kamu memikirkan sesuatu! Ibu tahu kamu suka menyembunyikan perasaanmu! Tapi kamu tidak bisa berbohong pada Ibumu ini Nak! Ceritakan, apa yang membuatmu sedih? Hem?"

Elia terdiam sambil menundukkan kepalanya mencoba kembali menyembunyikan rasa sedihnya namun kali ini ia gagal. Air mata itu terjatuh tanpa direncanakan.

"Ada apa Sayang? Apa ada yang menyakitimu? Ayo ceritakan!" pinta Ayahnya khawatir sambil memegangi kedua pundak putrinya itu.

Elia menelan ludahnya lalu mengusap air matanya sambil menegakkan kepalanya.

"Ibu, Ayah... bolehkah Elia keluar dari kelas unggulan?" tanya Elia tiba-tiba yang membuat kedua orang tuanya tersentak kaget.

"Apa?! La... lalu kenapa Sayang?" Ayahnya bertanya suatu hal yang sangat rasional.

Bagaimana tidak? Banyak murid disana yang bermimpi untuk masuk di kelas unggulan. Kelas itu adalah bagaikan kumpulan calon orang-orang sukses. Kelas itu adalah kesayangan para guru dan impian bagi para orang tua untuk anaknya. Tapi,kenapa Elia....

"Iya Sayang. Apa yang membuatmu seperti ini?" lanjut Ibunya yang bertanya namun Elia tidak menjawab.

"Ayah, Ibu, tolong ijinkan Elia keluar dari kelas itu...," tangis Elia kembali terpecah.

"Tet... tapi kenapa Sayang? Bukankah dulu kamu sangat ingin masuk di kelas itu? Kamu belajar siang malam untuk bisa masuk disana. Bukankah kelas itu dulu adalah impianmu?" Kembali Ayahnya menanyakan sesuatu yang belum ia mengerti.

"Ayah, Elia hanya merasa... kurang nyaman disana," akhirnya Elia menjawab.

"Kurang nyaman?" sahut Ibunya.

"Ibu, diluar sana sangat banyak sekali orang-orang sukses lain yang bukan berasal dari kelas itu kan? Setiap orang punya takdirnya sendiri bukan? Ibu, Ayah... tolong berikan doa dan restu kalian pada Elia! Elia janji akan terus belajar dengan giat!"

"Apa ini karena pekerjaanmu Nak? Iya, pasti karena itu kan? Jam belajarmu jadi berkurang karena pekerjaanmu itu. Nak, ayo kita ke pom bensin! Ayo kita minta maaf pada mereka! Kamu tidak bisa bekerja disana lagi. Ayah dan Ibu akan bekerja lebih keras supaya kamu tidak usah bekerja-" Ayahnya berkata sambil menarik tangan Elia berniat mengantar Elia ke pom bensin untuk resign.

"Ayah, Elia masih ingin bekerja!" ucap Elia sambil memandang Ayahnya sampai Ayahnya pun terdiam dan duduk kembali.

"Ayah, ini sama sekali bukan karena pekerjaan. Ayah, Ibu, tolong jangan menanyaiku tentang alasan lagi! Tolong ijinkan Elia—" Elia tak kuasa meneruskan kalimatnya. Dia hanya bisa menangis saja.

Kedua orang tuanya terdiam, shock dengan keadaan Elia. Sebelumnya mereka tidak pernah melihat Elia sesedih ini. Hati mereka hancur ketika melihat anaknya seperti ini.

Om Eko dan Tante Ani ikut menangis lalu saling berpandangan sebelum mereka merespon Elia.

"Sayang, tentu saja kita selalu akan merestui dan medoakanmu! Jika keluar dari kelas unggulan itu bisa menghilangkan kesedihanmu, tentu saja kami akan mendukungmu! Kami tidak ingin kau sedih Nak," ujar Ibunya sambil tersenyum menguatkan Elia.

"Ibu, Ayah, Elia janji. Elia akan tetap belajar dengan baik!" tegas Elia pada orang tuanya.

"Iya Sayang. Tapi... bagaimana dengan sahabatmu Sandra?" tanya Ayahnya.

"Elia akan pisah kelas dengan Sandra Yah. Tapi kita kan tetap di sekolah yang sama," jawab Elia menutupi masalahnya dengan Sandra.

"Lalu di kelas mana kamu akan pindah sayang?" lanjut Ibunya.

"IPS."

Jawaban Elia sontak membuat kedua orang tuanya terbelalak tidak percaya. Mereka terdiam. Dalam hati mereka ada suatu penolakan pada keputusan Elia yang ingin masuk di kelas IPS. Tapi apa daya? Mereka sangat percaya dan menyayangi Elia. Mereka ingin yang terbaik bagi Elia. Jika Elia merasa masuk di kelas IPS adalah yang terbaik bagi dirinya, lalu kenapa mereka tidak bisa merestuinya? Yang terpenting adalah niatnya belajar dengan sungguh-sungguh dan tentunya kebahagiaannyalah yang paling utama.

"Ayah, Ibu, Elia ke kamar dulu ya," ucap Elia sebelum beranjak menuju kamarnya untuk lebih menenangkan dirinya.

Di dalam kamar, pikiran Elia masih campur aduk. Dia memikirkan semua sisi positif dan negatif yang terlintas di pikirannya.

"Elia, lo bilang, lo akan jadi orang sukses supaya bahagiain orang tua lo, membantu ekonomi keluarga lo! Tapi keputusan apa ini? Konyol! Hanya karena masalah kecil itu lo nyerah kayak gini El?"

"El, ada milyaran orang sukses diluar sana! Apa mereka juga berasal dari kelas unggulan SMA Kirana? Tidak kan?"

"Elia, pikirkan! Peluang jadi sukses lebih besar bila lo masih duduk di kelas unggulan! Kalau lo punya teman-teman yang cerdas, mereka bisa bantu lo belajar dan nambah semangat lo buat belajar!"

"Bantu belajar? Nambah semangat? Lo bisa lihat, adanya mereka semua buat lo sedih, kecewa dan malu! Malu karena kelas lo udah terkenal suka bully! Lagian dari dulu sebenarnya lo gak passion masuk kelas IPA kan? Lo suka pelajaran IPS kan? Tujuan lo dulu masuk kelas unggulan hanya untuk Bagas, dan sekarang apa? Bagas udah dengan sadis nolak lo! Sandra juga gak mau belain lo! Lalu apa lagi yang lo raguin buat keluar dari kelas itu? Yang terpenting itu hidup lo! Kebahgiaan lo! Lo harus lupain Bagas, Sandra dan kelas unggulan! Itu satu-satunya cara buat lo lebih bahagia dengan hidup lo! "

"El, lo pikir dengan masuk ke kelas lain, hidup lo bakal tenang? Sudah melegenda kalau kelas unggulan selalu menindas kelas IPS! Lo mau jadi korban mereka?"

***

Gengs....

Kalau Elia keluar dari kelas unggulan, gimana dengan Bagas? 

Vote dan komen ya....

Makasih....

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang