Chapter 19

51.2K 3.7K 67
                                    

Pagi ini Elia sengaja berangkat ke sekolah tidak sepagi biasanya. Tujuannya hari ini bukan kelas unggulan, melainkan kantor guru. Untuk apa? Tentu saja untuk mengutarakan niatnya.

"Apa..?!" teriak Bu Niar kaget selaku wali kelas unggulan XI IPA A sekaligus guru kimianya.

"Elia, apa kamu sudah memikirkan matang-matang tentang keputusanmu itu?" tanya Pak Surya serius selaku kepala sekolah.

"Iya Pak," jawab Elia singkat.

"Tapi kenapa El..? Bagaimana dengan orang tuamu?" Bu Niar bertanya karena masih tak percaya.

"Tidak apa-apa Bu. Elia hanya ingin masuk di kelas lain saja. Sebelumnya saya sudah minta ijin ke orang tua saya dan orang tua saya sudah mengijinkan Bu."

Bu Niar dan Pak Surya saling melihat satu sama lain heran dengan keputusan Elia.

"Sebentar. Saya lihat dulu kelas mana yang masih ada bangku kosong," ucap Pak Surya sebelum ia membuka sebuah map.

Pak Surya seketika mengangkat kedua alisnya setelah melihat daftar kelas. Hampir semua kelas XI sudah memenuhi kuota maksimal murid. Hanya ada satu kelas yang-

"Ada apa Pak?" tanya Bu Niar sebelum ia ikut melihat daftar kelas yang ada di map tersebut.

"Tidak Pak! Tidak mungkin kelas itu! Anda tidak akan memasukkan Elia ke kelas itu kan?" Bu Niar mulai khawatir.

"Eh... tentu saja itu tidak mungkin-," jawab Pak Surya namun jawabannya disela oleh seseorang yang tiba-tiba datang.

"Satu-satunya kelas yang masih punya bangku kosong adalah kelas XI IPS F. Itu berarti Elia akan masuk di kelas XI IPS F!" Pak Yanto selaku wali kelas XI IPS F serta guru olahraga tiba-tiba menyela pembicaraan mereka.

"Tidak mungkin! Anak kelas unggulan tidak akan mungkin masuk di kelas itu!" Bu Niar berkata pada Pak Yanto sambil menegakkan tubuhnya untuk berdiri.

"Maafkan saya sebelumnya Pak Yanto, tapi Elia berasal dari kelas IPA unggulan, setidaknya kita bisa masukkan dia di kelas XI IPA B. Kelas itu kelas kedua terbaik di sekolah ini! Kalau masalah kuota, itu bisa diatur. Satu kelas kelebihan satu murid itu kan bukan masalah besar?" Pak Surya berpendapat.

"Tapi Pak, menurut saya, dengan adanya Elia di kelas saya, itu akan memberi kesempatan bagi murid-murid saya kelas XI IPS F untuk menjadi lebih baik! Elia bisa jadi contoh yang baik buat mereka!"

Elia yang melihat ketiga gurunya itu berdebat, sejauh ini ia hanya diam tanpa mengutarakan pendapatnya.

"Pak, mengertilah, Elia berasal dari kelas IPA! Bila ia ingin pindah kelas, tentu ia akan masuk di kelas IPA juga-," nampaknya Bu Niar sangat tidak rela bila Elia masuk di kelas IPS.

"Maafkan saya Bu, tapi saya akan masuk di kelas itu. Kelas XI IPS F," akhirnya Elia mengutarakan keinginannya. Namun tentu saja pernyataan Elia tersebut membuat Bu Niar dan Pak Surya terkejut. Sedangkan Pak Yanto tersenyum lega meskipun dalam hatinya juga terkejut dengan keputusan Elia.

"Elia yang menginginkannya sendiri dan kebetulan kelas yang masih ada kuota adalah kelas XI IPS F. Lalu apa lagi?" sepertinya Pak Yanto seperti mendapat hadiah besar untuk kelasnya dan tentu saja Pak Yanto tidak akan melepas Elia.

"Maaf, bisakah saya selaku wali kelas Elia, bicara berdua dengan Elia?" Bu Niar minta ijin pada Pak Surya.

Setelah Pak Surya memberi anggukan, Bu Niar menggeret tangan Elia untuk bicara berdua.

"Elia, kamu ini kenapa? Kamu tahu kan, kelas XI IPS F itu adalah kelas buangan? Coba tanya semua orang, apa ada murid yang berkualitas dari sana? Setidaknya kalau kamu mau masuk kelas IPS, kamu bisa masuk di kelas IPS A, bukannya kelas buangan itu!"

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang