Ia duduk di sana, dengan wajah segar dan senyum tak luput dari wajahnya.
*Biar aku tambahi epigraf di atas dengan:Matanya selalu memandang ponsel, dan ia tersenyum untuk siapapun yang ada di dalam ponsel.
Ya aku tidak menyalahkan dia sih--lagipula bukannya aku jadi terlalu mencurigakan kalau aku memandanginya terus dengan intens? Itu adalah ponselnya, jadi aku tidak berhak melarangnya tenggelam dalam dunianya sendiri.
Jadi, aku memutuskan kembali ke ponsel, antara ingin memutuskan melanjutkan isi puisi indie tadi atau yang lain.
Atau tidak.
Karena tiba-tiba, bus mengerem mendadak dan kami mental ke depan. Dahiku terantuk kursi depan.
"Jancuk! " Dan umpatan sopir terdengar menggema di dalam kendaraan.
Aku tak mau tahu apa yang terjadi, tak ingin repot-repot untuk ikutan kepo juga karena dahiku jadi sakit. Tanganku mengelus-elus bagian yang sakit dan--lagi-lagi tanpa sengaja--mata kami berserobok.
Mata. Kami. Berserobok. Dengan posisi meringis dan tangan yang mengusap-usap dahi.
Memutus kecanggungan, aku tersenyum. Sedetik kemudian, rasanya aku ingin menggemakan misuhan sopir dari mulutku sendiri.
Karena dia balas tersenyum dengan rona merah di pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAMPAI: NPC's 30 Days Writing Challenge
RandomRam.pai: Campuran atau kumpulan berbagai macam (buku, bunga, dan sebagainya) - KBBI V. Buku ini adalah kumpulan cerpen atau opini atau mungkin hanya enam kata dalam satu kalimat yang mulai dibuat mulai bulan Agustus 2018. Multi genre, multi interpre...