14 - 1928

23 12 2
                                    

"Ayah!"

"Aaa!" Orang-orang berlari menjauhi anak kecil yang bertelanjang dada itu.

"Maaf, maaf, maaf," ujar seorang wanita dengan rambut disanggul dan berkebaya sederhana.

"Pasungkan saja anakmu itu, daripada membuat warga takut!" teriak seorang pria berkumis yang dipanggil ayah oleh si anak kecil yang sekarang dipeluk ibunya itu.

Wanita berkebaya itu menggeleng, memilih tidak mengindahkan kalimat pasung itu dan mengajak anaknya pergi.

"Bu, itu Ayah, Ayah pulang! Ayah pulang sehabis lawan kompeni, Bu!"

"Ayah ada di rumah," ujar wanita itu singkat.

*

"Hmm, kamu enggak merasa ini cerita terlalu ... kelam buat didaftarin lomba Agustusan di mading sekolah?" tanya Andini setelah membaca secuplik adegan dari naskah yang kusodorkan.

"Iya, ya? Harusnya yang memotivasi semangat juang apa gimana?"

"Ya, yang kaya gitu." Andini menjawab. "Eh pertanyaan iseng, jawab dengan cepat ya, kalau cerpen ini nanti direvisi, mau angkat tema apa?"

"Yang kekeluargaan di suasana menjelang kemerdekaan."

"Kenapa?"

"Karena ya aku bisa menyisipkan pesan-pesan kekeluargaan di sana, sih."

"Terus, kalau menggarap cerpen itu, sosok seorang ibu ini siapa role modelnya di dunia nyata?"

"Kamu."

"He, aku?"

"Cuman kamu yang kepikiran."

"O-oke, terus si Ayah?"

"Aku." Di detik ini aku tergeragap, wajahku memanas dan....

... Andini memerah.

RAMPAI: NPC's 30 Days Writing ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang