" ... Calon ibu dari anak-anak Sandro."
Bodoh! Wajah Nina mengernyit menahan tangis tanpa air mata. Di dalam toilet yang sialnya terlihat seperti kamar hotel, ia berusaha menenangkan pikiran setelah mengucapkan kalimat yang akan Nina sesali tujuh hari tujuh malam. Sandro pasti senang ia mau mengakuinya sebagai tunangan, lebih-lebih sebagai calon isteri yang siap hamil beberapa tuyul keturunan Sandro. Seandainya toilet itu juga dibekali samsak tinju, sudah pasti Nina membuat samsak tersebut hancur berantakan.
"Nina?"
"Pergi!" bentak Nina tanpa sadar. Beberapa detik kemudian, mulutnya terkatup rapat dan buru-buru membuka pintu toilet.
Ekspresi Sandro datar, jauh lebih datar ketimbang jalan tol yang harga masuknya saja bisa dibuat nonton film bioskop dua kali.
"Ma-maaf, Pak—eh ... Bapak, maksud saya, aku ... Sandro." Ucapan Nina terus belepotan. Gugup ditatap lelaki tampan yang kadang bikin hati kembang kempis, tapi kadang juga bikin menangis.
"Besok aku resmi bercerai dengan Sarah."
"Hah?! Secepat itu??"
Sandro melangkah ke sofa yang jelas-jelas disusul oleh Nina. Dengan gerakan santai dia juga melepas jas kerja di badannya. Seksi, tapi sayang bagi-bagi ....
"Duduk." Sandro menoleh, mengedikkan dagunya ke sofa marun yang akhir-akhir ini dicintai Nina. "Jonathan pergi mengurus apa yang kubutuhkan, dan Sarah sudah kembali ke Sidney sesuai permintaannya."
Kepala Nina miring sedikit dengan mata mengedip beberapa kali. "Tunggu, tunggu. Segampang itu?"
"Segampang itu."
Sandro merogoh saku celana. Dia mengeluarkan kotak panjang berbalut kain beludru dengan judul Tiffany n Co sebelum duduk di samping Nina. Belum selesai, sekarang Sandro juga merogoh saku celana yang lain dan mengeluarkan selembar kertas terlipat. Dibukanya kotak panjang yang sudah bisa ditebak isinya. Kilau dari kalung perak dengan liontin berlian berbentuk setetes air mata, sedikit menggetarkan jiwa raga Nina. Batin wanita itu menjerit, kalung tersebut sangat indah dan terlihat mahal. Tapi Nina hanya bisa meneguk saliva, menekan rasa ingin untuk sekadar menyentuh si kalung begitu Sandro membuka lipatan kertas tadi.
"Surat ... perjan ... jian." Nina melempar tatapan horror ke Sandro, sebelum merebut kertas lusuh itu untuk dibacanya.
Awal kalimat masih Nina baca dengan keseriusan tinggi. Kalimat kedua, ketiga, keempat, sampai dengan bagian tengah Nina mulai mengedipkan mata beberapa kali. Jantungnya berdebar kencang. Air matanya juga hampir tumpah tapi Nina berusaha tahan karna tak ada gunanya menitikkan air mata buaya untuk Sandro.
"... Ini saya buat dalam keadaan sadar dan tidak ada unsur paksaan pihak lain. Bandung, duapuluh tiga Januari, 2014. Sandro Seva Anderson."
Selembar surat perjanjian dalam genggaman Nina perlahan turun dari depan wajah. Nina melihat Sandro masih menampakkan ekspresi datar tanpa malu-malu kucing meski Nina telah membaca seluruh isi dari perjanjian yang Sandro buat. Nina jadi sanksi kalau Sandro sebenarnya punya malu.
Gerakan itu santai. Sandro mendorong kotak perhiasan Tiffany n Co yang tadi sempat membuat Nina bergetar dalam waktu sepersekian detik.
"Waktumu memilih. This, or that." Telunjuk Sandro bergantian mengarah ke kotak perhiasan di atas meja dan surat perjanjian di depan mulut Nina.
No! Aku tidak akan bisa memilih satu di antara mereka. Jiwa matrealistis seorang Nina berontak, ia sedang diuji. Dan sialnya, Sandro terlalu berani menguji jiwa miskin tersebut dengan kalung berlian dan sebuah surat perjanjian. Sial!
![](https://img.wattpad.com/cover/156841654-288-k396130.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
• Scandal • [Sudah CETAK]
Romance(17/21+) dipublish 31 Juli, 2018 - tamat 8 Januari, 2019 POV 3 [ Sandro & Nina ] Mereka sama-sama buta soal hati. Mereka hanya menerima segala manfaat dari sebuah hubungan yang dibentuk. Taipan bernama Sandro menikahi wanita miskin penuh gaya berna...