9. Restu

7.8K 654 16
                                    

Gedung-gedung pencakar langit yang berstatus tetangga perusahaan tampak indah dilihat dari jendela kaca besar. Memandangnya beberapa menit bisa menjadi healing process sekaligus kondisi menenangkan untuk memikirkan sebuah keputusan berat. Dari banyaknya beban yang Sandro tanggung dalam jabatan CEO, ada satu beban yang tidak bisa dia selesaikan tanpa menyuruh pihak lain ikut campur. Semua bisa diselesaikan seandainya memang berjalan sesuai keinginan, tapi bisakah? Melihat orang yang dia taruh sebagai partner dalam mengatasi masalah justru terlihat kurang meyakinkan.

"Di mana dia pagi ini?"

Jonathan membanting laporan yang baru dibacanya. "Demi Tuhan, San. Aku bukan baby sitter-nya. Jangan tanya padaku di mana calon isteri konyolmu itu!"

Sandro hanya menarik napas dan memasukkan kedua tangan ke saku kanan-kiri celana. Tadi saat dia berangkat ke kantor, meja sekretaris masih kosong. Sandro perlu menunjukkan jam kerja Nina yang baru yang harusnya sudah ada di balik meja sejak jam tujuh pagi. Wanita itu oasti sedang bergossip dengan sahabat-sahabatnya. Lagi-lagi Sandro menghela napas.

Meski sedikit dibuat kesal oleh keberadaan Nina, tapi pagi ini terasa jauh lebih tenang karna kabarnya Jonathan berhasil mengupayakan cerai untuk Sandro dan Sarah. Status duda sebentar lagi disandang oleh Sandro, itu artinya keputusannya pergi ke Solo pagi ini untuk meminta restu kedua orang tua Nina sudah lah benar.

"Aku mau pergi ke Solo pagi ini."

"What for?"

"Meminta restu."

Jonathan menoleh, menatap punggung sepupunya yang seperti tak bosan menatapi gedung tetangga. Seriuosly, mau ditatap sampai dua puluh empat jam ke depan pun gedung tersebut tak akan bergeser tempat.

"Are you sure about that?"

Kini Sandro berbalik, melihat wajah Jonathan masih datar meski pertanyaannya mengandung rasa tak percaya. Dia tersenyum tipis kemudian pergi ke salah satu ruang di kantornya yang menyimpan banyak baju ganti, semacam walk-in closset tetapi lebih sempit.

Jonathan mengikuti ke mana Sandro pergi. Melihat bagimana Sandro mengenakan coat selutut warna hitam dari salah satu gantungan bajunya. Memang sejak awal, sepupunya itu sudah berangkat kantor dengan outfit santai, jeans hitam dan sweater turtle neck senada. Jonathan jadi curiga bahwa rencana pergi ke Solo memang benar-benar sudah diniatkan oleh Sandro sejak kemarin.

"Semakin cepat semakin bagus," jawab Sandro tenang.

Sebelah alis Jonathan naik. Kedua tangannya juga dilipat di depan dada. Bayangan soal Nina yang konyol dan menjengkelkan sedikit membuat Jonathan tak setuju.

"Dia bukan yang terbaik untukmu dan Noah."

"Itu menurutmu," tuduh Sandro. Ponsel, dompet, dan sebuah tas tangan berisi bergepok uang dibawanya sebelum berbalik menghadap Jonathan.

Jonathan membuang pandangan sekilas. "Aku harus keluar uang banyak tanpa sepengetahuan Om Frans. You can't relate my goosebumps, San."

"Yang kubutuhkan darimu hanya akta cerai, lainnya biar kuurus." Sandro menepuk dada Jonathan singkat. "Trust me, cepat atau lambat Daddy akan menerima Nina. Wanita itu punya satu juta pesona untuk memikat lelaki."

"Pesona katamu?" Senyum meremehkan keluar. Bukan lagi hal aneh jika Jonathan tak cocok dengan Nina karna dari sifat hingga sikap mereka berbeda jauh.

"Jangan cari gara-gara, Jo."

"Bukan aku, tapi dia."

"Nina tidak akan berulah kalau kamu diam." Lirikan tajam dilempar Sandro. "Dan jaga matamu. Dia tunanganku, soon become my hot wifey. Jangan sekalinya kamu menatap Nina seperti mendapati beef steak favoritmu."

• Scandal • [Sudah CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang