17. Kenapa Bisa?

9.5K 662 21
                                    

Kedua mata Nina menatap nyalang pada langit-langit kamar Sandro yang terkesan mewah. Ukiran gipsum cantik semakin menambah kesan glamour khas Sandro. Terus menatapnya, napas Nina tertahan bersamaan dengan kepala yang berdenyut. Lima menit tadi ia barusaja bangun dari tidur yang nikmat. Selimut tebal menutupi seluruh tubuh Nina dan suaminya, begitu hangat. Membuat darah Nina berdesir membayangkan tiap adegan panas dua jam lalu. Dan sekarang sudah sore hari, Nina baru sadar kalau Sandro membolos kerja.

Nina menggeliat dalam selimut tebal, bisa ia rasakan kulit tubuh telanjangnya langsung bergesekan dengan selimut dan sesekali dengan kulit Sandro. Nina membalik badan dan langsung berhadapan dengan Sandro yang masih terpejam. Wajahnya tampan saat sedang tidur, mirip sekali dengan Noah yang lugu. Bulu matanya tidak lentik tapi tebal, kalah dengan bulu mata Nina yang masih butuh mascara dua lapis.

Kalau diamati lebih jauh, Sandro terpejam seperti bayi baru lahir yang suci tanpa dosa. Hidungnya mancung, bibirnya pink pucat sedikit kusam. Nina pikir Sandro tidak mengharamkan untuk mengisap nikotin dalam konotasi waktu sangat jarang. Tulang pipinya tinggi dan rahangnya sedikit runcing. Demi Tuhan, Nina ingin sekali membelai lembut bekas cukuran jambang Sandro yang menggoda untuk dirasakan ketika bergesekan pada kulit. Pasti seksi.

Akan tetapi, hanya satu yang disayangkan Nina dari semua kesempurnaan fisik Sandro. Lelaki itu memiliki bekas laser cukup besar di bagian dalam pinggang, sedikit rendah. Entah dulunya Sandro memang memiliki tattoo atau tanda lahir yang tidak dia inginkan, suatu saat Nina akan menanyakan hal itu jika waktunya tepat.

"Kapan aku bisa kerja?" gumam Nina masih terpesona akan wajah Sandro. Ia tahu Sandro masih dalam garis kesadaran.

"Keluar saja dari kantor."

Kedua mata Sandro masih memejam, membuat Nina memberengut kesal. Mentang-mentang tampan dan berduit, dia bisa seenaknya tidur ketika Nina bahkan mengajaknya bicara.

Dan membahas soal dipecat atau resign, Nina jelas menolak hal tersebut secara terang-terangan meski ia sudah dinikahi oleh Sandro. Nina tidak mau mengemis uang dari lelaki itu. Ia wanita mandiri, dan jangan harap Nina akan menggunakan sepersen pun uang Sandro kecuali kartu kredit yang sudah diberikan Sandro kepada Nina. Karna hal yang sudah diberikan, haram untuk diminta kembali. Sandro harus paham soal hukum tersebut.

Sebelah tangan Nina mendorong dada Sandro agar menjauh ke ujung sisi ranjang. Sebal sekali dengan lelaki satu itu. Nina memilih pergi ke kamar mandi dengan membawa paksa selimut tebal yang menutupi tubuh telanjang mereka.

Masa bodoh kalau sampai dia kedinginan! Nina merutuk kesal. Pintu kamar mandi ditutup dan dikunci rapat. Tubuh Nina merosot di balik pintunya. Sekarang Nina menyesal, persis seperti apa yang dipikirkannya saat foreplay masih berlanjut.

"Nina," panggil Sandro sambil mengetuk pintu kamar mandi. Nina berusaha menulikan telinga. Ia harus bisa membenci Sandro mulai detik ini. Apa yang ada pada lelaki itu harus menjadi penyebab Nina merasa benci dan semakin benci.

Kran diputar untuk mengisi bathup sampai penuh. Berendam di kamar mandi mewah sambil menonton televisi memang jadi salah satu kunci menghilangkan malu dan stress.

***

Selesai berendam dan membersihkan badan, Nina meringis sambil duduk di atas closset tertutup. Bagian dalam pahanya terasa aneh dan sedikit nyeri. Cara jalan Nina bahkan terlihat aneh dan ia benci mengingat itu semua disebabkan oleh apa yang bernama malam pertama. Ya ... itu memang pertama kalinya untuk Nina. Dan sayangnya hal tersebut tidak dilakukan di sebuah hotel berbintang tujuh dengan view paling apik yang pernah Nina lihat.

Sekarang Ia bangkit dan berdiri di depan cermin menatap bayangan sendiri. Nina meraba bagian leher lalu turun ke dada. Love bite itu ada dan nyata, sekarang sudah berubah warna jadi sedikit keunguan.

• Scandal • [Sudah CETAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang