🐯
Tepat sebelum aku menjawab soal terakhir, pikiranku menjadi bias. Pilihanku di antara ingin membuat Jimin senang dengan memenangkan lomba, selain itu aku juga sangat tidak ingin menjadi sorotan publik. Menurut Jimin, juara kedua tidak akan masuk pada bagian konferensi pers besar-besaran yang diadakan oleh penyelenggara lomba.
Tak ada tempat untuk si nomor dua, menurut Jimin. Padahal seumur hidupku, aku berusaha untuk menjadi si kesekian supaya tidak terlihat oleh siapapun. Namun itu menjadi dilema saat mengetahui jika juara bertahan perlombaan sebelum-sebelumnya adalah Kyunggi High School. Lebih tepatnya, tim yang selalu digawangi oleh Jimin.
Sekarang aku benar-benar bingung. Tentu aku sangat paham, kedua pilihan itu memiliki risiko masing-masing. Namun, kali ini aku hanya lebih ingin melindungi identitasku yang 'bukan siapa-siapa'.
"Maaf, aku tak bermaksud begitu. Aku permisi," lirihku sembari membungkuk sebanyak dua kali. Menandakan permohonan maaf masing-masing untuk Chungha dan juga Jimin.
Sesaat kemudian Jimin menggeleng kuat, lalu berusaha mengejarku yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan mereka berdua.
Langkahku terhenti, aku bersandar pada sebelah pintu merah besar yang tak lain adalah akses menuju tangga darurat gedung. Tiba-tiba saja air mataku meluruh pelan dan tak terkendali. Hhhh, perasaan bersalah ini menjalar dengan sangat menyebalkan. Jimin menarik bahuku hingga tubuhku berbalik ke arahnya. Seolah tak lagi bisa menahan amarah, Jimin menyudutkan tubuhku ke pintu darurat.
Ponselku sempat terlepas dari tangan dan meluncur jatuh ke lantai. Aku melihat sekilas, layar ponsel hitam itu retak. Bagus Park Jimin!
"Kenapa? Kau minta aku untuk bertanggung jawab atas ponselmu? Aku akan berikan ponsel baru jika itu maumu," ucap Jimin dengan sebuah seringai mengerikan di wajahnya. Serius aku tak paham lagi dia kenapa.
"Jimin-ah, ada apa denganmu? Lupakan ponselku, aku tidak masalah."
Lelaki itu mengentak kedua tangannya di sebelah tubuhku. Napasnya memburu dan terengah ke arahku yang ia tahan sekuat tenaga. Di netranya yang gelap, aku bisa melihat kilatan emosi. "Jadi ini balasanmu setelah aku berhasil meyakinkan Jessica Noona? Kau tak tahu ya bagaimana sulitnya aku melakukan hal itu? Dia bukanlah orang yang tiba-tiba akan memilihmu jika bakatmu saja tak terdeteksi olehnya?"
Aku lagi-lagi harus berusaha menjaga kepalaku supaya terus dingin. "Oh? Lalu untuk apa kau lakukan itu semua padaku? Aku tak pernah ingin mengikuti ini semua sejak awal."
"Apa kau terlalu bodoh untuk tak menyadarinya, huh?"
"Menyadari apa? Iya, aku memang bodoh, lalu apa masalahmu?" balasku sama kerasnya.
Jimin mengerang atas sikapku yang terus seperti ini padanya. Lelaki itu terkekeh menyentak kepalanya ke atas, lalu kembali menatapku dengan lebih mengerikan lagi.
"Kalau aku menyukaimu. Dasar bodoh!"
.
Deg!
.
Hah, apa-apaan ini?
Jimin melangkah mundur. Satu tangan lelaki itu menyugar rambut hitam tebal miliknya. Netranya masih terpaku padaku yang berusaha sama sekali tak ingin terbaca oleh Jimin. Ini pertama kalinya aku mendapat suatu pengakuan bahwa ada seseorang yang menyukaiku.
Setelah menyadari aku yang masih bergeming, Jimin menggeleng sambil berlalu meninggalkanku. Sungguh, aku menyesal telah mengucapkan kalimat terakhir dari bibirku sendiri.
Beberapa saat kemudian saat aku yakin lelaki itu sudah hilang dari peredarannya, tubuhku ambruk ke lantai. Napasku pun tiba-tiba menderu, sekaligus menahan rasa sakit yang aku sendiri tak paham.
Jimin-ah, aku benar-benar minta maaf jika semua harus berakhir buruk seperti ini.
***
Semenjak kejadian 'Spelling Bee', aku dan Jimin sedikit menjauh dan menjaga jarak. Hanya satu orang yang sadar akan keanehan kami yang saling menghindar. Ya, ternyata Jungkook tahu itu dan terang-terangan bertanya padaku tapi tak kutanggapi.
"Memangnya kenapa kalau aku yang mengirimkan pesan itu? Lagi pula apa salahnya memberi semangat untuk perlombaanmu?"
"Jawab aku dulu, sebenarnya siapa yang melakukannya? Tolong jawab saja," pintaku semakin terpojokkan.
Tanpa sengaja aku melihat Taehyung yang sedang bersama Jimin berjalan ke arahku dan Jungkook yang sibuk berdebat di depan loker sekolah. Jungkook sejak tadi menyangkal tuduhanku, membuatku naik darah saja.
Kedua lelaki yang sama-sama mengamati kami itu mengernyit. Langkah Jimin sudah akan melewati kami. Namun, Taehyung menahan bahu lelaki itu dengan alasan keberadaan Jungkook yang sedang bersamaku.
"Dia yang mengirim pesan padamu. Tanyakan saja jika kau tak percaya!" Jungkook menunjuk ke arah dua lelaki yang sedang menuju ke arahnya.
Aku memiringkan tubuhku untuk melihat siapa yang ditunjuk oleh lelaki barusan itu. Huh? Park Jimin? Kim Taehyung?
Tidak mungkin Jimin, kan? Aku menyadari jika dia ikut berada di ruangan yang sama di sepanjang perlombaan 'Spelling Bee'. Tidak mungkin lelaki itu yang mengirimkan pesan semangat untukku.
Dengan menyebalkannya, Jungkook mendorong keningku. "Kau berlebihan sekali!"
"Pesan apa, Jungkook-ah?" tanya Taehyung bingung.
"Bukan apa-apa," Aku sedikit panik lalu berpaling untuk membuka kunci lokerku sendiri. Buru-buru aku membuka pintu lokerku yang berisi sebagian buku sekolah dan netraku tanpa sengaja menangkap bayangan selembar jas sekolah milik seseorang, yang bukan milikku.
"Pesan berisi semangat untuk lombanya. 'Anna-ya, fighting!' Tahu begitu, harusnya tadi aku mengaku saja jika aku yang mengirimnya. Pasti kau lebih senang, iya kan?" Jungkook menertawaiku puas sekali.
Ucapan Jungkook barusan itu membuat Jimin tak sadar terlihat mengeratkan rahangnya. Astaga, kenapa aku harus terus-terusan berada di posisi yang salah seperti ini sih?
"Eoh... Memang benar aku yang mengirim itu. Aku juga mengirimnya pada Jimin?" tanya Taehyung dengan polosnya.
Jungkook mengangguk. "Nah sekarang kau percaya, kan? Sahabatmu sendiri yang bilang, dia tak akan sudi memberikan nomor ponselmu padaku. Lihat saja sampai Jung Eunha itu menyukaiku. Kupastikan aku akan menolaknya." Oh sialan, ternyata bukan Eunha yang memberi tahukan nomor ponselku.
Tiba-tiba Jimin menoleh ke arah Taehyung. Apa ini? Kenapa Taehyung menyimpan nomor ponselku tanpa sepengetahuanku? Astaga, lelaki itu kan memang ketua kelasku. Tapi tiba-tiba Taehyung menahan Jimin dengan berucap, "Aku bisa jelaskan, Jimin-ah."
Sementara itu, aku menatap ketiga lelaki itu bergantian. Sebenarnya, aku hampir tak mempersalahkan jika yang mengetahui nomor ponselku jika itu adalah mereka bertiga. Namun, dengan reaksi aneh ketiganya, aku hanya merasa bingung. Ditambah dengan pernyataan mendadak yang aku dapatkan kemarin dari Park Jimin.
Kenapa semuanya kini menjadi lebih rumit?
Di tengah kebingunganku, tiba-tiba seorang gadis yang sepertinya senior kami terlihat berlari menuju ke sini. Dari kejauhan ia berseru untuk memanggil salah satu dari kami. Suara melengking itu langsung menggema di sepanjang koridor kelas tingkat dua.
"Taehyuuung-ahhh...."
Vixentae
***
Heyho....Makasiih byk untuk waktunya...
Gpp kalo work ini ngga ada yg baca, ku tetap akan update sampai fin hehehehe...
See ya 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Bliss For Violet (✔)
Fanfiction[PRIVATE] FOLLOW ME FIRST Lee Anna, gadis dengan beribu rahasia di dalam dirinya itu tercekat. "Anggap saja itu hanya sebuah kebetulan belaka." Kim Taehyung, lelaki normal yang menyimpan sisi lain luka di hatinya. Ia bertemu dengan seseorang yang me...