Berpura tuk acuh terhadap perihal apapun. Namun tetap saja gelisah sesekali datang menghantui. Bisikan-bisikan aneh mulai beterbangan bak daun yang berguguran. Aku ingin menyelami masa lalu. Rindu kepada seorang di masa itu. Dampaknya akupun tau. Tertusuk duri yang begitu sendu. Bicara luka memang tak ada penentu. Cukup !! Aku ingin pulang. Namun, kau menahan untuk tetap diam bersama kenang.
***
Gema takbir berkumandang di seluruh penjuru kota hingga pelosok desa. Menyambut hari raya yang esok akan tiba. Semarak kemeriahan serta kebahagiaan tampak disana. Wajah yang berseri-seri tanpa ada beban yang di pikulnya. Sungguh ini momen yang dinanti untuk berkumpul dengan keluarga.
Aku sama seperti mereka. Menyambut dengan bahagia. Namun sedikit berbeda. Bukan di daerah ibu kota Jakarta. Bukan pula dengan sanak saudara seperti biasanya. Kali ini aku berada disuatu tempat yang mungkin asing dirasa. Dimana kultur kami cukup berbeda. Di suatu desa yang masih terjaga keasriannya. Masih terhampar luas padi-padi yang hijau. Belum lagi rangkaian pegunungan sebagai pemanisnya. Ohh.. betapa indahnya alam semesta.
Di tempat ini. Bersama keluarga sederhana. Terdiri dari lima anggota keluarga. Begitupula dengan ruang keluarga yang luasnya tak kurang dari 5x5 meter persegi saja. Menelusuri lorong-lorong kecil yang diapit oleh dinding-dinding berpenghuni untuk sampai kesana. Makanan yang disugukan memang seadanya. Namun begitu nikmat dirasa...Di tengah makan malam. Aku terdiam sesaat. Seperti ada arus listrik yang menyengat. Ada hal yang mengganjal. Mungkin ada yang dirindukan. Bercengkrama dengan keluarga besar seperti tahun sebelumnya. Menikmati hidangan khas lebaran yang di buat nenek tercinta.
Tapi ada hal lain yang ku rindukan. Mungkin cerita tentang aku dan bayangan. Bayangan yang selalu menghantuiku. Kemanapun. Dimanapun. Tak dapat ditebak. Dia datang tak pernah memberi kabar. Di malam ini, ketika takbiran berkumandang. Ada sedikit percakapan di telepon genggam. Suara keramaian sangat terdengar. Membuat samar pendengaran. Aku tak yakin kau mengingat hal itu. Mungkin hanya aku, tentu aku. Memang tak ada yang memaksa untuk membuat mengingatnya kembali. Akupun tak seharusnya menyelami masa putih biru kembali. Hanya menyisakan perih.
Tak terpikir sebelumnya untuk mengingat kembali. Mungkin hati ingin sedikit melirik dan basa-basi tentang bayang di masa silam.
"Hai..."
"Ada apa kau kembali?"
"Aku hanya ingin mengetahui kondisimu, boleh?"
"Oh, apa pedulimu?"
"Apa kau masih membenciku?"
"Mungkin. Apa urusanmu?"
"Aku sungguh minta maaf atas kejadian waktu itu, tak ada maksud... Melukai hatimu"
"Lantas apa? Dengan mudah kau ucap maaf begitu saja? Kau pikir semua luka yang kau campakkan saat itu dapat terbayar hanya dengan serangkaian kata MAAF saja? TIDAK !!!!"
"Aku menyesal... Tolong maafkan aku.. Aku akan memperbaiki semuanya. Aku bersungguh-sungguh kali ini. Begitu menyesal telah melukaimu hingga seperti ini. Aku minta maaf.."
"Kalau begitu.. baiklah, aku memafkanmu. Aku ingin lihat kesungguhanmu kali ini.”
"Terimakasih banyaaaaaaak....
Aku sangat senang engkau telah memaafkanku.”
“Eitsss.. jangan senang dulu !”
“Kenapa?”
“Tidak semudah itu engkau mendapat maaf dariku. Ada syaratnya ..”
“Syarat? Apa?"
"Kau ...."
"Iya, apa?"
"Kau harus tetap disini ...
menemaniku bersama malam yang temaram."
"..........."Minggu, 11 september 2016
21:20
![](https://img.wattpad.com/cover/158727283-288-k314431.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama Hujan (COMPLETED)
NouvellesHujan kala itu membawamu kembali padaku. Menelusuri setapak demi setapak jalanan yang berliku. Saling bercerita perihal apapun mengenai rindu. Bagaimana mereka dapat merajut kepercayaan yang dulu sempat runtuh. Mewarnai hari-hari yang sempat kelabu...