Ledakan Tahun Baru

7 2 0
                                    

“YA AMPUN!” Teriak seorang wanita yang mengenakan gaun hitam berkilauan dalam gelap. Seisi ruangan auditorium yang tadinya meriah kini gundah gulana akibat padamnya listrik secara tiba-tiba ditengah acara. Namun setelah beberapa menit para pengunjung kembali dikagetkan dengan nyalanya lampu-lampu diatas mereka yang menandakan listrik telah menyala.
“YA AMPUN! PERMATAKU!” Teriak wanita yang mengenakan gaun hitam berkilau tadi.
“PERMATAKU! PERMATAKU DICURI!” Lanjutnya histeris ketakutan.
Satu ruangan tersebut kembali riuh dengan orang-orang yang saling berbisik membicarakannya.
“Nyonya Igor! Ada masalah apa sampai teriak-teriak begitu? Ada yang hilang, nyonya?” Datanglah seorang polisi bermantel setengah berlari kearahnya.
“Ada yang hilang katamu? Tentu saja, sudah serak aku memberitahumu permataku hilang! Dicuri! Tadi kupakai ditanganku sebagai gelang dan dileherku sebagai kalung. Tapi sekarang hilang tak berbekas,”  Keluh nyonya Igor sambil merapikan gaun hitamnya yang berkilau itu.
“Pasti dicuri ketika listrik padam,” Selidik polisi bermantel sambil menaruh tangannya didagu.
“Menurutmu begitu?”
“Apa anda merasa seperti ada yang menyentuh-nyentuh anda atau berusaha merebut sesuatu dari tangan dan leher anda ketika itu?” Tanya polisi tak menghiraukan kebingungan nyonya Igor.
“Entahlah, disini banyak orang dan ketika listrik padam aku tak bisa melihat apa-apa dan banyak yang secara tidak sengaja menabrakku.” Balas nyonya Igor masih ketakutan.
“Aneh, pencuri macam apa bisa cepat begitu geraknya.” Pikir polisi masih mencoba berpikir.
“Demi apapun kalian para polisi harus menemukan permataku! Kubeli semua perhiasan itu di Eropa, kau tahu itu sangat mahal.” Mohon nyonya Igor setengah berteriak.
Beberapa pengunjung lainnya yang mendengarnya menoleh sambil berbisik-bisik kearah mereka.
“Oh, ya pasti nyonya. Pasti akan ketemu permata anda, kami usahakan.” Balasnya sambil berjalan.
“Sebaiknya begitu.” Ketus nyonya Igor.
***
Sementara itu diwaktu yang sama namun ditempat yang berbeda listrik juga padam secara tiba-tiba. Ditempat ini tak ada orang melainkan setumpuk uang yang disimpan brankas sebuah bank swasta. Alarm tak berbunyi karena kabelnya sudah dipotong.
Di ruang penjaga tampak dimonitor ada yang berlalu lalang di ruangan brankas, para penjaga panik. Mereka mengambil pistol dan yang satunya lagi mencoba menelepon polisi dengan terburu-buru. Dan juga tak lupa salah satu diantara mereka menumpahkan kopi yang masih panas ke lantai.
“Cepat Rosalin! Para satpam gaek itu pasti melihat kita dikamera infra merah,” Bisik salah seorang yang mengenakan penutup kepala sambil membawa karung coklat berisi penuh uang. Mereka berlari menuju pintu belakang yang engselnya sudah dirusak.
Setelah para bandit itu pergi listrik kembali menyala.
“YA AMPUN! BRANKASNYA KOSONG!” Teriak salah seorang penjaga.
Tak berapa lama terdengar dengungan suara mesin mobil dihidupkan dan ban berdecit dari belakang bank. Para penjaga itu kelimpungan berlari kearah pintu yang sudah rusak.
“Hati-hati, siapa tahu itu jebakan.” Ujar salah seorang penjaga menyuruh yang lainnya untuk tenang.
Begitu penjaga tadi melangkah untuk membuka pintu sebuah ember berisi air dingin jatuh tepat menimpa kepalanya dan pistolnya jatuh serta meletus membuat yang lainnya kaget.
“Kita dipermainkan, dasar bodoh. Cepat bantu aku membereskan ini.” Kata penjaga yang basah kuyup itu.
“Sudah kau telepon polisi?”
***
Sementara itu di mobil polisi yang sirinenya meraung-raung ditengah jalan yang sepi didalamnya terdapat polisi bermantel tadi.
“Gila, dua kejahatan sekaligus. Dalam waktu yang sama pula,” Gumam sang polisi.
Dikejauhan jalan yang sepi itu lewatlah sebuah sedan Mercedes hitam, sang polisi hanya melihatnya tanpa berpikir apa-apa, hanya kebingungan yang melanda seisi kepalanya saat ini.
Sementara itu di Mercedes hitam itu satu orang pemuda dan pemudi yang dudukk disampingnya dapat bernapas lega setelah tegang melewati barisan mobil-mobil polisi bersirine kencang tadi.
“Bagus, mereka sudah lewat.” Ujar pemuda yang menyetir mobil.
“Tapi aku sama sekali tak tenang, Bar.” Balas si pemudi.
Hening.
“Lihat itu, Emil menunggu kita dibalik semak-semak,” Kata si pemuda sambil menunjuk kearah semak-semak yang gelap.
“Bagaimana kawan, sukses dengan banknya?” Ujar Emil sambil masuk kedalam mobil dengan tas kecil berisi permata dan perhiasan yang baru ia curi dari seseorang di gedung auditorium.
Tak menjawab pentanyaannya para anak muda yang duduk didepan itu saling bertatapan.
“Ada apa kalian ini? Gagal, heh?” Tanya Emil dengan tatapan menyelidik.
“Kami berhasil, tasnya disampingmu. Kau seharusnya bisa melihat,” Balas si pemuda dingin. Sementara si pemudi disampingnya kembali tegang dengan keringat dinginnya bercucuran dari dahinya.
Butuh dua jam bagi para pencuri ini untuk sampai dirumah Emil yang jauh dari kota. Setelah memarkirkan Merecedesnya mereka turun dan masuk kedalam rumah.
“Kenapa kalian ini dari tadi diam saja, sudahlah. Ini minum, bisa membuat kalian sedikit tenang.” Ujar Emil sambil memberikan dua gelas berisi air mineral kepada mereka.
“Bari, kau tak khawatirkan tentang hal ini?” Tanya Emil.
“Entahlah, aku…” Jawab Bari, si pemuda bingung hendak menjawab apa.
“Kau juga tidak kan Rosalin?” Lanjut Emil tanpa menghiraukan jawaban Bari.
Rosalin tak menjawab, hanya keringat dingin dan wajah tegang yang menghiasinya sejak tadi.
“Lihatlah kalian berdua cengeng sekali,” Ujar Emil.
“Bagaimana jika kalian harus melihat berita tentang kejadian yang kita buat besok di koran pagi, pasti kalian langsung menciut hahaha,” Lanjutnya sambil tertawa.
“Sudahlah sebaiknya kalian mandi dan tidur, tidak akan terendus kejahatan kita malam ini disini.” Lanjutnya kembali berusaha membuat suasana menjadi tenang.
Keesokan paginya saat Bari sedang ke kota kecil yang mirip pedesaan didekat rumah Emil dan masuk kedalam sebuah warung yang menghadap jalan sambil minum kopi dan membaca koran. Matanya membelalak begitu membaca tajuk utama koran itu, “DUA KEJAHATAN DALAM SATU WAKTU” dibawahnya ada tajuk tambahan yang lebih kecil namun cukup besar untuk dilihat, “Permata dan perhiasan istri Kolonel Igor Satriani dicuri” serta ada tajuk kecil lainnya, “Brankas Bank Metro ludes dalam hitungan menit diraup bandit bertopeng”
“Cukup sudah,” kesalnya dalam hati. Cepat-cepat ia menghabiskan kopinya yang masih panas dalam sekali teguk dan langsung menyambar Mercedes hitamnya berbalik kerumah Emil.
“Coba kau baca ini, kita ada di Koran!” Sambut Bari begitu membuka pintu rumah.
“Mana?” Tanya Emil penasaran.
Sambil mengunyah biskuit Emil membaca dengan serius berita Koran yang diberikan Bari.
“Lihat ini, ‘dilaporkan oleh istri Kolonel Igor langsung kepada reporter kami, permatanya yang dibeli di Swiss berharga ratusan juta itu hilang tak berbekas, dan beliau menawarkan uang sebesar seratus juta dalam bentuk tunai bagi siapa-pun yang menemukannya.’ Hebat sekali ya, kita bisa jadi kaya habis ini.” Kutip Emil sambil menyunggingkan senyum.
“Kau berniat mengembalikannya?” Tanya Bari.
“Tunggu hingga tawarannya naik lebih tinggi.”
“Yah, kalau begitu aku…” Belum sempat Bari menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong lagi oleh Emil.
“Pernahkah terlintas di otakmu itu tentang mengebom Gedung Kesenian Negara itu?” Tanya Emil dengan nada dalam.
“APA?” Teriak Bari kaget.
“Kau tak harus berteriak begitu,”
“Ada apa kalian?” Rosalin datang dari kamarnya sambil mengacak-acak rambutnya.
“Kita akan mulai misi pengeboman, Rosaline. BUM!” Tawa Emil.
“Bah, kau saja. Sudah cukup yang kemarin membuatku hamper mati berdiri,”
“Ayolah, bakal seru. Si Presiden gaek dari Negara tetangga itu sedang berkunjung kesana, kapan lagi melihat wajah kagetnya di kamera cctv.” Rujuk Emil yang kemudian menolehkan lehernya kepada Bari.
Bari menarik nafas agak dalam.
“Kau ikut kan Bari?” Tanya Emil.
Bari mendengus.
***
Satu bulan kemudian tepat saat hujan baru saja reda dipagi itu sebuah Mercedes hitam melaju di jalanan yang sepi diantara pepohonan pinus yang sedikit menghalangi cahaya matahari jatuh ketanah.
“Kita istirahat dulu, didalam hutan pinus sana ada sungai. Tak jauh tempatnya kita sarapan dulu.” Kata Emil sambil memarkirkan jipnya dipinggir jalan.
Mereka berjalan menyusuri hutan pinus itu dengan Emil berada didepan sementara Bari dan Rosalin berada dibelakang membawa meja lipat.
Bari berbisik, “Kau ingat rencana kita kan?”
“Kurang lebih,” Balas Rosalin tak kalah pelannya.
Selesai mendirikan meja lipatnya mereka mulai sarapan dengan roti isi selai madu dan segelas kopi hangat di pinggir sungai yang beriak.
“Kau sudah isi bensinnya?” Tanya Bari sedikit gemetar.
“Ah, sial aku lupa. Tak apalah, nanti saja kita isi.” Balas Emil tak curiga.
“Tapi kita buru-buru Emil,” Kata Rosalin tak kalah gemetarnya.
“Kalian kenapa?” Tanya Emil mulai jengah.
“Kami… eh, kami kenapa?” Balas Bari berusaha tenang.
“Tenang saja bahan peledaknya kan belum kita rakit lagi, sesampainya di belakang gedung kesenian itu baru kita rakit lagi.” Ujar Emil membaca kegalauan diwajah kedua temannya.
“Tapi kalian benar juga, lebih baik kuisi sekarang. Bisa-bisa habis ditengah jalan nanti,” Lanjut Emil sambil berdiri hendak pergi.
“Ah, atau kau saja Bari, aku belum selesai makan.” Kata Emil tiba-tiba.
“Aku? Rasanya aku tak bisa, aku kurang enak badan, takut nanti terjadi apa-apa. Kau mengerti kan?” Balas Bari berkeringat.
“Yasudahlah. Tapi kalian tetap disini ya, aku tak akan lama.” Lanjut Emil pergi.
“Oke, hati-hati.” Balas Rosalin juga berusaha tenang namun tak berani melihat langsung kemata Emil.
“Hampir saja,” Lega Bari dalam hati.
Ketika Emil sudah tak kelihatan dengan hampir serempak Bari dan Rosalin berdiri dari tempat duduknya perlahan-lahan tak bersuara.
Dan kemudian terdengar bunyi “BUM!!” yang membuat telinga mereka berdenging cukup parah.
Tak membuang waktu mereka berdua langsung membuang peralatan yang ada dimeja sekaligus mejanya ke sungai dan lari menyusuri jalan setapak berbatu dipinggir sungai.
“Ayo Rosalin, sebelum ada yang datang!” Ujar Bari menggamit tangan Rosalin dan berlari sekencang-kencangnya, begitu kencangnya hingga mereka harus menyebrangi sungai dengan tergesa-gesa diantara aliran air sungai yang pelan tetapi dasarnya yang licin membuat mereka berdua hamper terjatuh.
Semakin dalam mereka menelusuri hutan pinus itu dan berhenti sejenak untuk istirahat memastikan mereka sudah cukup jauh dari tempat tadi.
“Lihat itu Rosalin, asap dari mobil kita,” Kata Bari terengah-engah sambil menunjuk kepulan asap yang tampak kecil dikejauhan.
“Dan itu suara sirine polisi,” Sambut Rosalin.
“Akhir dari cerita Emil, hidupnya berakhir di Mercedes hitam ditipu oleh kedua sahabatnya yang ingin terbebas dari masalah.” Lanjut Bari.
Mereka lanjut berjalan, tetapi semakin waktu berjalan, semakin jauh mereka melangkah, perasaan gundah gulana kembali menghantui mereka. Tak ada satupun diantara mereka yang berbicara satu katapun. Perasaan takut akan ketahuan, rasa bersalah semua tercampur aduk menjadi satu. Dan langitpun mulai menurunkan hujannya.
Tak satupun diantara mereka bergeming karena hujan, mereka telah dihantui oleh rasa takut akan perbuatannya tadi. Hingga Rosalin berhenti melangkah.
Bari yang kemudian sadar menoleh kebelakang.
“Apa yang telah kita lakukan Bari?” Tanya Rosalin sedingin cuaca disekitarnya.
“Kita menghentikan aksi psikopat,” Balas Bari.
“Bagaimana jika Emil selamat dan berhasil hidup? Ia akan melaporkan semuanya dan memutar balikkan fakta tentang kita ke polisi dan kita akan ditahan atau malah dihukum mati!” Rutuk Rosalin bersimpuh ketanah dan menangis tersedu-sedu.
“Oh, tidak.” Gumamnya diantara tangisannya.
“Rosalin…” Bujuk Bari berusaha membuat Rosalin tenang.
“Kita akan aman kalau sudah sampai perbatasan. Tak akan jauh dari sini,” Lanjut Bari.
Dengan bersimpuh pada pundak Bari mereka berdua kembali berjalan diiringi hujan yang semakin deras hingga mereka bertemu pertigaan tanpa arah penunjuk hujan sudah mereda.
“Kiri… atau kanan?” Tanya Bari bimbang.
“Mungkin ujung kedua jalan ini sama, kau ke kanan aku ke kiri bagaimana?” Usul Rosalin.
Setelah mengeringkan pakaian mereka sejenak, Bari dan Rosalin saling berhadapan.
“Bagaimana kalau ujungnya berbeda?” Tanya Bari.
“Itu artinya perjumpaan kita cuma sampai disini,” Jawab Rosalin.
Hening sejenak, kedua insan itu hanya saling bertatap-tatapan tanpa berkedip. Rosalin menitikkan air matanya.
“Sini kau kupeluk,” Sambut Bari dan mereka berdua berpelukan untuk yang terakhir kalinya.
“Jika ujung kedua jalan ini bisa mempertemukan kita, itu artinya kita harus tetap bersama.” Balas Rosalin.
“Tanpa kejahatan apapun yang bisa bikin kita merinding khawatir lagi.” Sambut Bari membuat Rosalin terkikik.
“Dah,”
“Ya, dah juga.” Balas Bari.
Keduanya kini berjalan berpisah saling berlawanan tanpa sempat menoleh untuk melihat ke belakang dan masa lalu mereka yang begitu kelam dengan teman psikopatnya, dan berjalan lurus mengikuti rutenya masing-masing hingga keduanya tak lagi terlihat.
***
Bunyi petasan diluar rumahku sangat memekikkan telingaku, namun sesaat ketika kulihat langit malam yang bercahayakan bulan purnama aku tak lagi merasa terganggu akan suara ribut-ribut diluar jendela, karena petasan-petasan yang menimbulkan suara gaduh tadi berubah menjadi sesuatu yang spektakuler untuk dilihat. Dasar tahun baru, tawaku dalam hati. Seolah merasa ditengah perayaan kemenangan kubuka jendela rumahku agar aku lebih jelas melihat langit malam kali ini. Sial sekali hal ini membuatku teringat akan suatu hal, sudah lebih dari dua tahun sejak kejadian menegangkan itu. Entah kenapa aku mengatakannya sial, aku belum bertemu dengannya lagi. Ia yang bersamaku berlari menyusuri hutan pinus ditengah terik, hujan, dan badai hanya untuk kabur.
Aku tak tahu lagi perkembangan kabarnya, yang terakhir kudengar Emil tewas ditempat bersama kisah psikopatnya, dan polisi menduga telah menangkap seorang teroris yang mengalami kecelakaan kerja dengan bomnya. Setidaknya itu dua tahun yang lalu, aku tak perlu mengingatnya lagi. Buat apa, pikirku. Di desa ini aku sudah berubah, aku hidup damai dengan para orang-orang yang ramah ini yang dengan ringan tangan mengizinkanku untuk tinggal dan bekerja sebagai ‘flowerist’, sebutan untuk kami yang bekerja dengan bunga-bunga indah di taman desa.
Aku beranjak keluar rumah ikut bergabung dengan kerumunan orang dilapangan utama desa kami yang ramai. Sangat ramai. Yang membuatku heran aku tak pernah mengira penduduk desa kami sebanyak ini, padahal aku sudah disini cukup lama sejak pelarianku.
Dengan pelan aku ikut berbaur dengan keramaian di lapangan yang ditengahnya terdapat api unggun yang cukup besar untuk menghangatkan kami dimalam yang cukup membuat kami menggigil kedinginan, di sudut-sudut lapangan terdapat petasan-petasan yang hendak diterbangkan keatas untuk membuat sebuah ledakan yang indah, dan di tepi-tepi lapangan terdapat beragam kios-kios kecil berisi macam-macam makanan yang didepannya terdapat banyak kursi dan meja beserta tikar untuk kami menikmati hidangan yang ditemani dengan alunan gitar akustik yang dimainkan oleh seorang pria yang cukup mengesankan. Namun rasanya aku pernah melihatnya tapi tak ingat dimana, batinku. Tapi sudahlah toh didepanku ada kios burger pasti lezat!, pikirku.
Ketika aku menyerahkan selembar uang dan menerima sebuah burger yang masih panas, aku tak sadar kalau alunan gitarnya sudah tak terdengar lagi hingga seseorang menepuk bahuku.
Ketika aku menolah ia berkata,
“Kemana saja kau ini, heh? Menghilang dua tahun dan ternyata kau berdiri disini dengan burger yang sausnya tumpah,” Ceracaunya membuatku bingung dan tersadar akan saus mayonnaise yang meleleh tumpah ketanah.
‘Jangan bilang dia…’ Gumamku dalam hati.
“Selamat tahun baru, Rosalin.” Sambutnya begitu ceria dengan menyunggingkan senyumnya, senyum yang waktu itu menyemangatiku ditengah hutan dalam badai yang mengguncangku untuk menyerah.
Ia membenarkan posisi tas gitarnya yang ia gendong dan menyorongkan tangannya mengajak salaman, seketika itu juga burgerku terjatuh dan aku memeluknya erat-erat.
Ia membalas pelukanku sebentar dan mencium keningku lalu kemudian melepaskannya, kami hanya saling memandang mata satu sama lain, tak berkata apa-apa sedikitpun. Air mataku berkumpul menggenang di pelupuk mataku seraya berkata,
“Selamat tahun baru juga, Bari.”

Diorama Hujan (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang