Payung merah..
Lelaki bersweater abu gradasi
Rintik hujan di malam itu, bersamaku..
***
Beberapa pekan terakhir hujan memang sering datang ke sini. Membasahi kota ini. Terkadang buatku tak mengerti. Dugaan-dugaan kini hanya sebuah negasi. Ramalan cuaca pun terkadang melesat dari praduga para peneliti. Banyak media mengatakan hari ini cuaca cerah dan pada sore berawan. Namun realitasnya siang hari pun terjadi hujan yang begitu menakutkan ditambah suara guntur yang begitu menggelegar. Ataupun sebaliknya.
Malam ini rinai hujan turun begitu lembutnya. Meneduhkan hati setiap insan yang ada. Menghapus debu-debu jalan yang dapat mengganggu pernapasan bagi yang melintasinya. Rinai pun berganti rintik yang begitu deras. Mengejutkan mereka yang sedang berjalan santai serta mencoba mengabaikan rinai yang lembut itu. Lalu gegabah mencari tempat untuk berteduh sejenak.
Genangan-genangan yang terbentuk akibat pelapukan kimia itu timbul satu persatu. Bentuknya pun berbagai macam mulai terbesar hingga terkecil ataupun mulai terdalam sampai terdangkal. Lampu-lampu jalan yang memancarkan sinarnya berusaha menggantikan cahaya bulan. Selalu terjadi pembiasan hingga tercipta warna gradasi baru yang indah nan padu. Lalu-lalang kendaraan pun tampak jarang terlihat. Mungkin hanya ada beberapa dan penumpangnya pun tak penuh. Mungkin bisa dihitung dua atau tiga saja. Sekalipun melampaui itu, mungkin hanya kebetulan semata. Entahlah, mungkin hukum alam memang sudah seperti itu ....
***
Ada seorang lelaki di ujung sana, bersandar terhadap pagar yang berdiri cukup kokoh dirasa. Menggenggam payung begitu erat. Berwarna merah marun dengan corak bunga-bunga. Berpostur tubuh tinggi dan agak berisi serta aksesoris jam tangan berwarna hitam elegan menempel di tangan kanannya. Mengenakan sweater dengan gradasi abu. Sesekali ia mengeluarkan ponselnya untuk membalas beberapa pesan singkat. Entah menunggu siapa. Berdiri seorang diri di tengah rintik hujan yang membasahi. Bercahayakan penerangan seadanya di titik jalan yang begitu sepi. Mungkin dapat dihitung orang yang melewati jalanan tersebut malam itu. Kebisingan sejiwa meredam, yang ada hanya gemericik air yang terdengar begitu jelas ditambah para katak yang saling bersahutan riang gembira.
“Apakah kamu masih lama? Aku lelah berdiri sedari tadi disini.. Lumutan aku .. :(“
Ternyata dia sedang menunggu seseorang. Siapakah seseorang itu? Teman? Atau kekasihnya kah? Apakah seseorang itu tinggal di tempat itu? Mengapa dia mau menunggu selama itu? Kenapa..? Kenapaa..??? Keenapaaaaa..????? Beribu-ribu pertanyaan memenuhi kepalaku. Berusaha mencari tahu siapakah dia??? Orang yang sedang ditunggunya ?? Oh tidak.
15 menit kemudian ...
Seorang wanita keluar dari gerbang mengenakan jaket dan kerudung berwarna padu cokelat susu. Langkah kakinya bergerak dengan tergesa-gesa. Tepat menuju seorang lelaki yang berdiri di sana. Berpayung merah marun dengan corak bunga-bunga. Hanya senyuman kecil yang tampak dari lelaki itu. Berusaha menutupi lekuk yang tampak di wajahnya. Dia membawa ransel abu-abu di pundaknya. Kelihatannya cukup berat. Dengan raut wajah yang sulit dijelaskan lagi bentuknya. Sepertinya dia tampak lelah, panik, bingung, senang, serta beraneka ragam rupanya. Begitu jelas tergambarkan ketika bertatapan langsung dengan lelaki itu. Ada jam tangan berwarna hitam mungil menghiasi tangan kirinya juga. Sepertinya begitu istimewa baginya.. Aku belum tahu pasti...
Mereka berdua meninggalkan tempat itu, berjalan di tengah rintik hujan yang begitu semangatnya. Berpayung merah marun, berdua. Memang tak ada yang melintasi jalan itu, selain mereka. Bergandengan tangan seperti yang dilakukan oleh anak muda pada umumnya. Saling tatap walaupun beberapa detik saja. Sesekali bergantian memegang payung merah marun itu. Bercerita tentang apa yang sedang dirasa. Senyum dan tawa mengisi kehampaan dunia. Menggantikan bulan dan bintang yang mungkin tak tampak karena bersembunyi disana.
Payung merah marun itu. Hanya sebuah payung biasa. Benda mati. Dengan motif bunga-bunga sebagai pemanisnya. Ada juga motif lain bahkan tak ada sekalipun. Bisa dikatakan kebutuhan primer bagi yang membutuhkannya. Ukurannya yang mungil, memudahkan untuk dibawa kemana saja. Menaungi siapa pun dari panas dan hujan. Menulis kenangan apapun bersamanya. Seperti saat ini, mereka berdua dan payung itu.
***
“ Sepertinya, aku akan kembali ke rumah malam ini...”
“ Tapi... ??!!%#@ ”
Beribu alasan tercurah dari perempuan itu. Mencoba memutar otak untuk mencari jalan keluar. Raut wajahnya pun berganti kelabu dan tampak lesu. Lelaki itu pun tampak dilema sepertinya.
Mereka berdua nampak pasrah jika memang harus berpisah malam itu juga. Langkah kaki kian melambat tak ada semangat. Wajah mereka menjadi layu, namun hujan terus turun di antara mereka kala itu.
Cukup lama untuk berdialog mengenai keputusan antara pergi atau tetap tinggal. Rindu yang memaksa agar tetap tinggal, namun waktu yang akan menentukan akhirnya. Harapan mereka adalah agar waktu tetap bersahabat karena rindu ini belum sempat terealisasikan seutuhnya.
***
Perjumpaan singkat yang mereka rasakan begitu hangat. Deretan waktu dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Tetesan hujan, genangan dan payung merah menjadi saksi bisu kerinduan mereka yang sudah lama tersingkap. Senyum itu begitu hangat ditengah dinginnya malam karena hujan terus turun hinggap mereka terlelap.Minggu, 2 Oktober 2016
17:47

KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama Hujan (COMPLETED)
Historia CortaHujan kala itu membawamu kembali padaku. Menelusuri setapak demi setapak jalanan yang berliku. Saling bercerita perihal apapun mengenai rindu. Bagaimana mereka dapat merajut kepercayaan yang dulu sempat runtuh. Mewarnai hari-hari yang sempat kelabu...