«tak lebih, kita hanyalah individu yang saling menerka; apakah kamu nyata?»
♪ flower - yiruma
1 november ini sudah diawali oleh hujan yang tiba-tiba mendera kota Jakarta. di malam hari, yang jadi makin kelam, bersanding dengan suhu yang terasa menusuk di kulit.
kaki itu berlari beriring dengan kecipak hujan, tanpa arah, tidak perlu rumah karena ia hanya butuh tempat sementara singgah.
dan tempat terdekat yang ditemu ialah kafe yang di poster besarnya tertulis info, "Buka 24 Jam".
menjauh, ia mengambil posisi paling ujung. tidak mau bergabung bersama 6 orang lain yang padahal sama sepertinya; numpang berteduh di bawah naungan atap kafe.
orang-orang itu saling berbincang tentang macam-macam. ada yang sinis, mungkin curhat soal pacar yang selingkuh. ada yang tertawa, mungkin menggunjingkan orang lain yang bisa jadi kerabat mereka sendiri.
oceana tidak pernah suka kafe. telinganya jengah mendengar percakapan di tempat itu; soal sekolah, pekerjaan, masalah, hidup. entahlah, mungkin ini juga akibat dari pribadinya yang tidak pernah suka keramaian.
sekujur tubuhnya basah kuyup, tak ada sejengkal pun yang tidak kebasahan. kini ia hanya bisa memeluk rangka sendiri, berharap moga dikit menghangatkan badan.
berdiri di dekat parkiran menyebabkannya harus mendengar bising mesin kendaraan yang silih datang dan pergi. tak apa, ini lebih baik, alih-alih daripada harus mendengar orang-orang itu mengobrol.
dirasa ada yang memarkirkan motor tepat di sampingnya, oceana tetap tidak peduli. dia terus memainkan rintik hujan yang menetes di telapak tangannya.
"hey,"
agak tersentak, oceana refleks menoleh. didapatinya seorang lelaki dengan kemeja barista melambaikan tangan. sepertinya pegawai di sini.
cowok itu cukup tampan. kulit seputih porselen, mata sayu yang terlihat lusuh, bintik indah di antara hidung dan pipi, bibir penuh-yang tersenyum ramah meski tak kontras dengan struktur wajah bad boy nya.
oceana mengabaikan dan tak menjawab sapaan itu.
"hey,"
suara berat si lelaki kembali menyapa. hanya dibalas dengan gumaman.
"boleh nanya?"
kepala oceana menengok kembali, mimik mukanya bertanya apa?
"kenapa kamu tidak suka teh?"
alis oceana menukik aneh mendengar pertanyaan itu. "kok tau?"
yang ditanya mengidikkan bahu. "nebak aja."
masih sangat terdengar aneh.
"kenapa nggak suka?"
"dari kecil emang nggak suka."
"penyebabnya."
"nggak tahu, pokoknya nggak suka."
"setiap akibat pasti diawali sebab. tidak mungkin kamu nggak suka teh tanpa ada alasannya."
dari sini sudah bisa oceana simpulkan: lelaki ini orang yang bawel dan sok tahu.
gadis itu diam, tidak ingin memperpanjang obrolan. buang-buang waktu saja.
"kamu tau filosofi teh? siapa tau filosofinya bisa bikin kamu jadi suka."
astaga, bawel. oceana menggeleng.
"suka aja enggak, pasti nggak tau juga ya filosofinya," lelaki itu terkekeh geli. "hidup itu ibarat secangkir teh. manis atau pahit, semua tergantung bagaimana kamu membuatnya."
bumi mendadak sunyi, cuma ada bunyi gemercik hujan yang beradu dengan tanah. seolah di kolam, oceana merasa tenggelam dalam semestanya sehabis mendengar kalimat bijak itu.
semenit berlalu, mata minimalis oceana memperhatikan wajah cowok tersebut lekat-lekat. "kamu masih SMA?"
"iya."
"satu sekolah denganku?"
"di sini juga ada teh, lho. kapan-kapan coba, ya. aku kerja tiap hari rabu dan kamis." jawabnya, kesannya sih mengalihkan.
menghela napas, oceana memutar bola mata. jadi daritadi, niatnya untuk promosi, begitu?
syukur, hujan mereda. tanpa ucapan perpisahan, tanpa sepatah kata apapun, cewek itu melangkah pergi.
di sisi ini, netra nya tidak bisa lepas dari punggung oceana yang perlahan menjauh dimakan temaram malam. pasti, dia terus merapal dalam hati: punggung rapuh itu butuh rumah, bukan sekadar persinggahan.
btw benerin ya kalo ada EYD yang salah ataw tanda baca yg salah. maklumin, masi belajar wqwq
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka dengan Ceritanya
Fanfiction"Hai, Oceanaku, Sayangku, Lautku, sumber tenang dari segala gundahku. Tanggal berapa dan bulan apa kamu membuka tulisan seadanya ini?" // status: finished featuring: lee felix //