Bagian 10

760 29 0
                                    

Dengan kecepatan penuh Naufal mengendarai motornya di siang hari itu. Hatinya pedih, beruntung dia masih punya pengendalian diri yang baik. Sepanjang jalan dia beristighfar, setelah masuk jalan kampung, mulailah dia menurunkan kecepatannya.

Satu tempat yang dia tuju, sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang luas. Tanaman jenis sayur dan apotik hidup tumbuh di depan rumah dan sebelah kiri rumah, sedangkan di sebelah kanan rumah dibiarkan kosong dengan rumput jepang yang rapi dan terawat. Luasnya sama dengan lapangan voly.

Setelah memarkirkan motornya dia langsung menuju halaman sebelah kanan, membuka baju dan kaosnya sehingga tampaklah bagian badan atasnya yang atletis.

Dia segera beraksi dengan teriakan dan gerakan-gerakan teratur dan lincah. Yah gerakan beladiri pencak silatnya, kali ini menjadi pemuas emosinya. Dia tidak menyadari ada sepasang mata tua yang memperhatikannya dari tadi.

Naufal masih bergerak dan berteriak, sampai keringat bercucuran. Tak tahan dengan apa yang dilakukannya, dia berbaring telentang menatap langit yang mendung, nafasnya memburu, matanya terpejam berharap kejadian yang tak mengenakkan menghilang.

Spontan dia terbangun, saat sebuah tangan mengelus kepalanya.

"Sudah puas membuang emosinya?"
Naufal memeluk tubuh renta itu dan menangis.

"Kakek sudah bilang, jika kamu masuk ke dunia kota kamu harus punya beribu-ribu kekuatan mental."

"Iya Kek, Naufal merasakan sendiri apa yang pernah Kakek ucapkan."

"Jadi kamu menyerah?"

"Tidak Kek, Naufal hanya perlu menenangkan diri dulu. Boleh ya Kek, Naufal di sini dulu?"

"Ini rumahmu Nak, kamu boleh pulang kapan saja, tapi jika ada masalah sebaiknya diselesaikan jangan dihindari."

"Iya Kek."

Naufal melepaskan pelukannya, bersama kakeknya berjalan menuju ke dalam rumah.
----

Sementara di rumah sakit Dini tidak mau makan siang, Papa dan Mamanya sudah membujuk tapi tetap tidak mau. Sampai akhirnya, Bik Sumi datang setelah magrib baru dia makan, tapi juga hanya beberapa suap.

Pagi harinya kondisi Dini kembali ngedrop, bahkan dia juga sulit diajak bicara. Papanya yang tadinya mau kerja jadi libur, begitu juga dengan mamanya.

"Ada apa dengan anak kami Dok?"

"Emosinya sedang tidak bagus Pak, sebenarnya tidak ada indikasi khusus, kami sudah melakukan tes laboratorium. Semuanya baik, kecuali ..."

"Kecuali apa Dok?"

"Ada sesuatu yang sedang dia pikirkan atau sedang dia tunggu-tunggu. Coba Bapak dan Ibu pikirkan apa kira-kira?"

Pak Hendi dan Istrinya saling berpandangan.
Setelah kembali ke ruangan Dini, Pak Hendi langsung bicara dengan Bik Sumi. Pak Hendi sadar kalau anaknya lebih dekat dengan pengasuhnya itu.

"Saya tidak tahu Tuan, Non Dini tidak pernah cerita lagi sama saya."

Apa dia memikirkan Naufal ya? Pikir Bik Sumi, tapi dia tak berani bicara.

-----

Waktu asar tiba, Dini minta tolong Bik Sumi untuk membantunya tayamum dan sholat. Hanya sholat yang tak pernah dia tinggalkan.
Papanya tersenyum melihatnya, dan pamit mau ke musola, sementara Mamanya sudah keluar duluan.

Dini segera memulai sholatnya, sementara Pak Hendi menghentikan langkahnya saat melihat ponsel Dini menyala. Dia ambil ponsel tersebut, kebetulan masih terbuka,dia baca beberapa wa.

Ketika Dini Jatuh Cinta (sudah dibukukan )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang