Diana POV
Hanya tidur 3 jam membuatku sakit kepala pagi ini dikantor. Ditambah Pak Tomi sedang rewel-rewelnya. Memberiku banyak tugas yang tidak masuk akal.
"Diana!" Lagi-lagi suara Pak Tomi menggelegar melalui microfon disamping mejaku."Iya Pak. Apa yang bisa saya bantu?" Aku berusaha membuat suaraku terdengar professional.
"Datang cepat ke kantor!" Perintah Tomi, atasanku. Dengan segera setengah berlalu menuju ruangan Tomi. Ruangannya memiliki 2 mahogani meja. Satu berukuran besar dan di kelilingi oleh 8 kursi. Dan lainnya adalah meja utama tempat komputer dan surat-surat dokumen Tomi tergeletak. Aku mengetuk perlahan dan masuk. Aku berdiri disamping meja utama Tomi dan menunggu perintahnya.
"Saya tidak tahu harus mulai dari mana, Din." Tomi diam sejenak. Din adalah nama panggilan Tomi untukku. "Perusahaan ini akan saya jual." Mendadak seperti udara di sekeliling aku menipis.
"Ja.. jadi semua karyawan dipecat?" Aku memberanikan diri bertanya. Pak Tomi mengurut pelan keningnya. "Tidak. Saya belum tahu pasti. Bos kamu yang baru akan menentukan itu. Saya merasa sangat menyesal, Din. Selama 3 tahun ini kamu bekerja sangat baik meski saya tau kamu dibawah umur saat itu. Saya masih ingat istri saya menemukan kamu demam di depan gerbang perumahan hari itu. Hari itu kamu baru berusia 13 tahun." Suara Tomi menjadi sendu. "Diana... Kamu adalah anak bagi kami. Saya merasa seperti Ayah yang gagal dengan menjual perusahaan ini."
"Kenapa ayah menjualnya? Ayah tahu perusahaan ini adalah satu-satunya kenangan tentang Ibu." Saya memulai memanggilnya Ayah pada saat kami memiliki percakapan tentang Ibu. Dikantor aku harus bersikap professional meski dia Ayah angkatku. Aku mulai membantu ayah sejak 14tahun di kantor sebagai assistant sekretaris.
"Ayah berusaha keras Din. Tapi kerugiannya terlalu besar. Ayah tak mampu lagi. Sedikitnya masyarakat yang berinvestasi ke real estate. Kita tidak kembali modal sejak 4tahun lalu. Dan bos baru ini mau membeli dan melunasi hutang Ayah."
Aku berpikir sejenak. Ikut merasa kesedihan yang dirasakan Tomi. Semenjak Ani, Istri Tomi yang adalah ibu angkat saya meninggal, Tomi depresi dan butuh waktu 1 tahun untuk dapat kembali bekerja. Aku ingin membalas semua kebaikan meraka. Tomi dan Alm. Ani menyekolahkan aku hingga aku tidak harus putus sekolah. Dan aku sangat bersyukur di karuniakan otak yang cerdas.
"Din bikinin Ayah kopi yah." Aku segera keluar ruangannya dan menyiapkan kopi untuknya. Dengan langkah besar aku kembali menuju ruanganku dan segera membuka file serah terima surat pembelian kantor Tomi. Aku tahu ini illegal karena secara tidak langsung aku membuka email Tomi melalui komputerku sendiri tanpa sepengetahuan beliau.
Terpampang data tentang pemilik baru perusahaan Ayah. "Batmajaya Inc." Aku berguman pelan. Dengan perlahan aku terus membaca surat itu. Tomi memang memberiku akses untuk membuka emailnya pada keadaan tertentu dengan sepengetahuannya. Tapi kali ini aku melakukan dengan diam-diam. "Pihak pertama, Luis Alfian Batmajaya..." Aku mengambil handphoneku dan segera men-google informasi tentang perusahaan Batmajaya. "Wow." Aku hanya mampu terkesima dengan profile perusahaan mereka yang merangkap sebagai pihak eksportir and importir, pemilik real estate dan resort.
Setelah semua data itu aku menuju pilihan gambar. Satu wajah mendominasi halaman pencarianku. Rambut hitam legam dan klimis, wajah tampan dengan rahang kokoh, bibir merah, hidung mancung yang membuat pria ini mendapat angle foto terbaik dari sisi manapun. Sepasang mata yang tajam di naungi alis tebal. Kulitnya benar-benar bersih. "Luis Alfian Batmajaya" lagi-lagi aku mengumamkan nama yang sama setelah mengetahui nama sosok tersebut. Dan bisa ditebak artikel selanjutnya hanya mengenai kehidupan glamornya. Wanita berganti-ganti dalam hitungan hari. Bersama wanita seperti berganti celana dalam. Aku tidak tertarik dengan informasi ini. Aku berpikir keras bagaimana caranya harus mendapat persetujuan pembatalan pembelian perusahaan Ayah. Tapi surat ini jelas-jelas sudah di tanda tangani Ayah.
Kulirik jam yang tak terasa menunjukkan pukul 5 sore. Aku mengemas barang-barang bawaanku dan menuju halaman parkir. Ketika sampai dirumah, aku segera mencari Ayah. Jam 3 tadi dia sudah memutuskan pulang duluan karena kelelahan. Tas dan kunci yang kupegang tiba-tiba terlepas dari tanganku ketika aku melihat Ayah tergeletak di tangga menuju lantai dua. Kepalanya berdarah. "Tidaaaaaak!" Aku memeluk erat kepala Ayah dan berusaha menghentikan aliran darah tersebut. Namun lukanya terlampau besar. Dengan panik aku meraih handphoneku dan menghubungi rumah sakit terdekat. Ayah segera di bawa ke ruang ICU. Aku menangis sejadi-jadinya karena membiarkan rumah kosong pada saat itu. Pembantu rumah tangga kami meminta ijin dan perawat Ayah juga di rencanakan baru akan memulai pekerjaannya kembali besok. Hanya ada Nuh, satpam kami berusia sekitar 50tahun yang sedang berada di pos. Tanpa mengetahui apa yang terjadi.
"Diana." Teressa atau ku panggil Tess berlari kearahku.
"Bapak gimana?" Katanya sambil memelukku erat. Aku tak mampu berkata-kata dan hanya mampu menangis. "Sstt... Kamu tenang Din.. semua akan baik-baik aja. Ayah adalah orang yang kuat."
"A...a...aku.. aku ga kuat Tess. Aku harusnya bersama Ayah. Aku.. aku gagal" isakku dengan keras.
"Hey... Itu sudah terjadi. Kamu jangan nyalahin diri sendiri. Mana Diana yang kuat?" Tess menghela napas. "Aku sahabat baik kamu sejak 4tahun lalu. Kamu kuat dan akan selalu kuat. Apa yang terjadi itu uda kehendak Tuhan. Yang harus kita lakukan adalah melangkah maju sambil berdoa."
Aku mengangguk pelan mendengar nasehat lembut Tess. Kuhapus airmataku dengan cepat. "Aku tau apa yang harus aku lakukan."
"Maksud kamu?"
"Menyelamatkan perusahaan Ayah. Apapun jalannya."
Tess memelukku erat. "Aku disini selalu saat kamu membutuhkan pertolongan."
"Thank you Tess." Senyumku pelan.
"Keluarga Pak Tomi." Panggil seorang suster dari ruang ICU. Aku segera berlari menujunya.
"Gimana ayah saya Dok?" Tanyaku kearah pria memakai masker disamping suster yang berbicara tadi.
"Keadaannya kritis. Kita hanya bisa berharap yang terbaik." Mendengar itu, aku jatuh kelantai. Beruntung Tess ada di sebelahku. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin". Dokter tersebut berlalu dengan wajah kelelahan. Aku masih setengah berdiri dengan tatapan kosong. Airmataku tak berhenti mengalir.
"I am here, Din...." Tess menangis dan mendudukkanku dibangku. Tess memelukku erat. Aku tidak dapat merasakan semua ototku. Rasanya lemas sekali.
Dokter membiarkanku memasuki ruang ICU dengan di tuntun Tess. Kusentuh wajah pucat Ayah. Aku menangis sejadi-jadinya. Baru kali ini aku merasa seluruh airmataku tercurah. Untuk kedua kalinya aku terancam kehilangan orangtua. Apakah aku memang tidak pantas memiliki orangtua? Aku terduduk dilantai dengan tatapan kosong. Tess berusaha membuatku berdiri. "Tess.. bisa tinggalkan aku sendiri dulu?" Aku berkata dingin. Tess mengerti maksud itu dan meninggalkan ruangan. Membiarkan aku hanya berdua dengan Ayah. Aku mengepalkan tangan dengan keras. Harusnya tidak seperti ini. harusnya aku bisa menyelamatkan perusahaan dan nyawa Ayah segera. Aku bangkit berdiri dan ku kecup pelan kening Ayah. "Din akan kembali Yah. Tunggu Din."
Aku berlari keluar dengan cepat meninggalkan Tess yang memanggilku keras. Diluar hujan rintik-rintik. Jam menunjukkan pukul hampir jam 12 malam. Aku membawa mobilku menuju salah satu bar terkenal, Red beach. Aku tau bisa menemukan dia disana. Luis Alfian Batmajaya.
-please like and comment-
Grazie
KAMU SEDANG MEMBACA
Peach Love (COMPLETED)
RomanceWARNING!!! 21+ (Sudah di peringatkan ya. Jangan ngeyel yang belum cukup usia.) *Belum diedit sedikitpun. Penuh gramatikal eror.* 17 tahun Diana Santoyo harus hidup mandiri sejak usia 12 tahun. Kedua orangtuanya telah meninggal dan menjadikan Diana s...