Untittle story.

315 4 0
                                    

Tentang rasa yang tak kunjung terucap.......

"Kamu punya mimpi?" Tanya seseorang membuyarkan lamunanku untuk sesaat. Aku menoleh kearahnya, meneliti setiap detail wajah laki-laki disampingku yang cerewet ini, kuhembuskan nafas gelisah perlahan.

"Tahu apa kau tentang mimpi?" Tanyaku balik, berusaha terdengar setenang mungkin. Mimpi? Mereka hanya akan membuatmu menghayal. Dan saat kalian berhasil menghayal, mereka akan menjatuhkanmu. Sepelosok bumi. Sampai tiada orang yang bisa membantumu kembali menemukan kecerahan dunia kembali.

"Aku tahu banyak tentang mimpi. Ayahku bilang, mimpi adalah sesuatu obsesi yang akan membuat otak kita bekerja, memikirkan cara supaya kita mencapai mimpi tersebut, macam obsesi saja, ya? Kakek ku juga bilang, mimpi adalah sesuatu yang indah." Aku menatapnya dengan tatapan cemoohan. Yang benar saja? Kau pasti bercanda.

"Indah?"

"Iya, Indah. Dengan mimpi, kau bisa berkarya. Tanpa ada seorangpun yang bisa menghentikan mimpimu itu."

Aku membuang nafas pelan, andai saja kau tahu.

Ada orang yang akan membuat kita berhenti bermimpi.

Sampai saat itu tiba.

Flashback-

Kusipitkan maataku agar melihat lebih jelas, dua orang yang baru saja keluar dari bus dengan bergandengan tangan itu terasa tidak asing bagiku. Aku tancap gas mobil perlahan sambil meneliti mereka dari belakang.

Aku mengenalnya.

Awalnya, kukira getaran tanganku hanya karena udara ujan yang dingin. Awalnya kufikir, sambaran dihatiku hanyalah nyeri numpang lewat karena kesepian.

Dan akhirnya, kukira aku mulai merasakan jatuh cinta...dan sakit hati. Kenapa orang-orang selalu mengucapkan 'sakit hati'? Padahal, yang kurasakan sekarang seluruh tubuhku juga ikut sakit.

Dan yang terakhir kuingat, setelah kuceritakan kejadian itu pada Rani-sahabatku, ucapannya yang nyelekit tak mengenang dihati kembali terngiang.

"Sesekali liat realita lah. Boleh sih mimpi, tapi jangan sampe lebih keseringan gak napak di bumi."

Dan dari saat itu, kuputuskan untuk tak mengejar mimpiku lagi.

*

"Jadi, apa mimpimu?" Alisnya mengerut sambil menatapku, tertarik dengan topik yang sedang kami bicarakan.

"Tidak ada"

"Kenapa?"

"Aku kalah. Aku sudah kalah sejak dulu" ucapku lirih, kemudian menunduk dan langsung menatap mata besarnya dalam, "dan sekarang saatnya untuk mundur perlahan."

"Hei, kau tidak boleh berkata seperti itu, memang, mimpimu apa sih? Kok bisa sampai segitu nge-down-nya?" aku mengerucutkan bibir mungilku sambil berfikir. my dream...is be with you, bisikku dalam hati. Bodoh, mana mungkin berani mengaku. Aku menggeleng kepala dengan cepat, enggan mempermalukan diri sendiri. "Nih ya, coba liat anak bayi yang baru belajar jalan, mereka jatuh. Tapi mereka langsung bangkit, kemudian mencoba jalan dengan gerakan pelan, sampai mereka bisa. Semangat mereka untuk bisa berjalan sangat besar. Masa, kamu kalah sama anak bayi?" Berhenti mengejekku. Kalau ini bukan karena mata bodoh yang melihat kau bergandengan tangan dengan pacarmu itu, aku tidak akan berhenti bermimpi, bodoh!

"Mimpiku berbeda, kalau mimpimu adalah menjadi seorang pemain hoki, maka jangan tanyakan apa mimpiku, sungguh ini konyol. Dalam mengejar mimpi ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika saat anak bayi jatuh dan bangkit lagi, dia bisa melakukan percobaan. Sedang kan aku? Aku hanya bisa duduk manis sambil berdoa agar mimpiku jadi kenyataan. Sampai sekarang, mimpiku belum terwujud. Kurasa, Tuhan tidak mau mengabulkannya" Jelasku panjang lebar dengan diakhiri pembuangan nafas yang cukup panjang. Dia melirik ku sedikit,

ONE SHOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang