****
Segalanya terasa jungkir balik, sejak pertama kali kamu berbalik.
Ditemani langit yang berwarna ke-merah-an, dua orang yang berlawan jenis itu melampiaskan berat tubuhnya diatas rumput-rumput berwarna hijau muda. Angin sore mencium pipi keduanya dengan halus, membuat sensasi geli setiap kali mendarat di pipi kedua orang itu. Tangan mereka yang terlipat, sama-sama diletakan dibelakang kepalanya, membuat mereka lebih nyaman menatap langit kemerahan sore hari itu. Kemudian,
"Aku selalu menjaganya, bagaimana dengan kamu?" Tanya perempuan dalam balutan sebuah hoodie berwarna abu-abu itu dengan senyum manis. Mereka berdua sedang membicarakan tentang perasaannya. Matanya menatap mata cokelat madu yang biasanya bersinar dengan terang itu dalam kesedihan. Mereka berdua merasakan hal itu. Kesedihan.
"Aku memberikannya pada orang lain, Keerana," begitu jawabnya, setelah beberapa lama gadis itu menunggu.
Tunggu, beberapa lama? Sial. Dia-Keerana-bahkan sudah menunggu laki-laki itu sejak tiga tahun lalu.
Tapi, memang seharusnya begini, kan? Kamu bersama dia, sedangkan aku mencari pengganti yang lainnya.
"Maaf," lanjut laki-laki itu dengan nada bersalah. Genggaman tangan mereka yang tadinya seakan terkunci dengan rapat, perlahan mengendur hingga terlepas dari satu sama lain. Perempuan itu menatap telapak tangan kecilnya dalam diam. Sebenarnya, dia sudah tahu sejak lama. Namun, ia mencoba menutup semuanya dalam hati, rapat-rapat. Tidak membiarkan selembar kertaspun melewatinya.
"Apa kamu bahagia, Justin?" Tanyanya kemudian, kali ini sudah tidak menatap mata madu itu lagi.
"Ya," jawabnya, sekenanya.
"Aku bahagia untuk kamu," katanya pelan.
Atau mungkin, hanya perasaannya yang mengatakan suaranya yang parau terdengar pelan. Karena disisi lain, telinganya sudah dipenuhi oleh keributan pecahan hatinya yang baru saja runtuh.
Haruskah aku berbahagia untuk kebahagiaanmu, disaat rasanya aku ingin membunuh diriku karena jatuh terlalu dalam padamu?
"Aku bahagia untuk kamu," gumamnya sekali lagi, kali ini lebih pelan daripada sebelumnya. Laki-laki itu menatap gadis di sampingnya dengan alis yang beradu, mata abu-abu yang dulu pernah memberikannya keteduhan itu tertutup dengan rapat, membuat laki-laki itu tidak bisa melihat kebenaran dari gadis itu. Tidak lama, matanya tertutup dengan perasaan campur aduk. Namun, tidak ada yang berbicara.
Terjemahan:
Aku (akan mencoba) bahagia untuk kamu.
****
Maaf,
Aku yang terlalu pengecut karena tidak memberitahumu bahwa sejak awal aku sudah mencintaimu.
Aku yang terlalu bodoh untuk mempercayai waktu bahwa pada akhirnya kita akan mencapai titik temu kebahagiaan itu.
Aku yang terlalu naif untuk mengatakan: sejak kepergianmu, bayanganmu dalam hidupku sudah seutuhnya menghilang bersama masalalu.
Maaf,
Aku yang terlalu berharap dapat memilikimu, padahal kenyataannya yang kurasakan semestapun tidak ingin kita menyatu.
"Maaf," gumam gadis itu akhirnya meletakan pulpen berbulu warna pink di atas meja belajarnya. Buku kecil itu kemudian diselipkan didalam deretan belasaan buku lainnya dalam rak meja belajar yang terbuat dari kayu itu.
Perlahan, penglihataannya menyebar kesetiap sudut ruangan. Sedaritadi, kata 'maaf' masih menghantui pikirannya, berdesakkan agar bisa dicerna gadis itu kemudian ditulis dibuku hariannya dengan segenap harapan akan dikenangnya suatu hari nanti.