"Aku kangen kamu, kamunya gimana?" Kalimat itu masih terkatup diudara, aku tidak menggubris melainkan asik mengamati orang yang barusan mengatakan kalimat-yang lagi-lagi berhasil membuat jantungku bergedup tidak karuan.
Mimpiku selalu menyalurkan kisah-kisah yang bersangkutan dengan orang yang sedang berbicara padaku ini. Wajahnya yang tirus dengan alis tebal diperlengkap dengan mata almond nya yang menawan. Ku buang jauh-jauh pikiran itu, lalu kubanting pintu tepat didepan mukanya.
Aku takut, lirihku dalam hati.
***
Flashback-
"How long?" Tanyaku pelan, aku menatap sepatu kats putihku dengan malas. Alih-alih takut melihat tatapan Justin yang masih menempatkan kedua tangannya dibahuku, memaksa ku untuk menatap matanya, tapi aku tidak mau.
"Enggak tau, paling-paling dua bulan aku udah balik kesini, kok." Begitu katanya, dan aku hanya bisa menganggukkan kepala tidak jelas.
"Jangan diem terus dong, tuan putri. Rakyat jelatanya jadi bingung kan harus berbuat apa kalau tuan putrinya diem gini." Aku tersenyum tipis, entah karena apa tapi yang jelas panggilan darinya adalah panggilan paling special. Entah sejak kapan nama panggilan itu diresmikan, yang jelas jauh sebelum kita resmi menjadi sepasang kekasih.
"Jangan tinggalin aku." Begitu kataku, pesan yang agak dramatis namun aku benar-benar menginginkan dia menjanjikan itu. "Aku nggak pengen, nanti pas pulang-pulang hati kamu udah bukan buat aku lagi."
"Buat siapa dong hati rakyat jelata kalau bukan buat sang putri yang cantik jelita ini?" Lagi-lagi anak ini bisa membuat ku tersenyum, dan aku kembali tersandar didalam pelukannya.
"Aku butuh kamu buat percaya sama aku, bukan buat takut kehilangan aku. Karena aku, nggak akan pernah hilang dari hati kamu, begitupula dengan kamu," dengan itu aku kembali mengeratkan pelukanku. Pelukan sederhana yang mampu mengendalikan emosi ku. Kurasakan tangannya mengelus rambut panjangku yang terurai datar, entah ini mimpi atau bukan. Yang jelas, jangan biarkan aku terpisah dari rakyat jelataku ini, Tuhan. Bisikku dalam hati.
***
Sunday, Atlanta.
Bahkan, setelah setahun lebih mencoba menghapus jejak dirinya dalam kehidupanku, Tuhan memaksaku untuk tetap bersabar dengan kekembalian dirinya dalam hidupku. Hari ini, aku dibangunkan oleh satpam rumahku, yang mengabarkan bahwa ditemukannya seorang anak laki-laki yang tergeletak didepan pintu rumah dengan darah yang sibuk mengucur dari lubang hidung mancungnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Justin? Aku menghela nafas sambil membersihkan darah yang mengalir dihidungnya, dia masih tertidur pulas. Nafasnya yang teratur masih terdengar, rambutnya sekarang berantakan dan berhasil menutupi matanya-yang tentunya juga masih tertutup. Kuperhatikan wajah itu dengan seksama.
"Aku juga kangen," bisikku pelan, yang kurasa hanya bisa didengar oleh diriku sendiri. Sebagian dari diriku masih menyuruhku membencinya, tapi sebagian dari diriku juga mampu menyorakkan kata 'iya' untuk kalimat barusan, kupejamkan mataku perlahan. Aku juga kengen kamu,rakyat jelata.
"Jangan tinggalin aku, Tamara." Suara yang kukenal itu kemudian mebuyarkan lamunan ku, tangannya mengenggam tanganku erat, mata almond-nya menatap ku dengan tajam, seakan tidak membolehkan aku untuk pergi dari dekatnya.
***
Flashback-
Minggu pagi.
Sudah masuk minggu ketiga setelah Justin pergi, tanpa kabar sama sekali dengan alasan ya begitulah signal kalau ditempat-tempat terpencil, seperti yang kalian tahu, aku masih sabar menunggunya. Sampai saat itu tiba.