C 30

3.7K 80 1
                                    

= Sakitnya Kepergian =
.
.
.
Saat semua luka yang tertanam semakin mendekam, apalah arti setitik cahaya yang menyinari lembah ini yang tetap saja gelap. Pelukan hangat hanya khayalan dan kenyatannya diri ini tetap tertinggal seorang diri…

-o0o-








Naya pulang dengan keadaa basah kuyup, dirinya kehujanan dipemakaman tadi.

Walau dirinya tetap dilindungi payung pemberian orang yang tidak dikenalnya sesaat meninggalkan area pemakaman tadi.

Tapi tetap saja derasnya hujan yang bersekutu dengan perasaannya yang entah bagaimana lagi bentukannya, sudah membuat dia tidak perduli dengan kondisinnya sendiri.

Yang dia pikirkan hanya satu. Bagaimana rasa sakit itu hilang tanpa sisa, atau paling tidak ada cara untuk mengurangi denyutan rasanya yang terus menjalar jauh dalam hatinya.

Tapi apa yang dia dapatkan? Luka itu tak berkurang, atau malah hilang. Malah semakin bertambah, dan dia benci menangggungnya.

Saat sedang mencoba menenangkan dirinya, dia pasti akan bertindak diluar kendali. Dan dia tidak mau ada yang melihat kondisinya yang tengah hancur lebur, walau itu Wika sekali pun. Dia lebih memilih baik sendirian, ketimbang topengnya terlepas dihadapan orang lain.

Maka dari itu dia meminta mang Eza untuk menunggu dirumah saja, sedangkan dirinya pergi diam-diam kepemakaman seorang diri. Dia tidak mau ada orang yang tau masa lalunya.

Terlebih itu adalah Nathan.

Memasuki rumah dengan tatapan sendu dan juga sinar mata yang masih menampakkan kesedihannya.

Melangkah pelan kearah ruang tengah untuk menuju kamarnya yang berada dilantai dua.

“dari mana kamu” suara dingin dan tegas itu yang pertama kali menyapa Naya dengan tatapan tajamnya

Merasa ada orang lain diruangan ini selain dirinya, Naya pun menoleh dan mendapati kalau kini Nathan tengah memandangnya dengan tatapan dingin dan tajamnya, meneliti keadannya Naya sekarang.

Bukannya disambut dengan hangat ini malah sikap dingin dan judes miliknya yang duluan datang. Sial. Mendengus bosan dan menatap kesamping

Dua detik kemudian tatapan itu pun bertemu. Namun hanya sikap malas yang Naya perlihatkan. “habis dari rumah teman” jawab sekenannya dan melangkahkan kakinya menuju kamarnya

Mengernyit heran akan sikap istrinya yang tidak biasanya, membuat salah satu keningnya terangkat. “harus hujan-hujanan? Mang Eza?” Tanya Nathan sarkatis dan masih dengan muka yang sama

Naya pun menoleh kearah Nathan yang masih diruang tengah. “hp Naya mati, dan nggak sempat ngabarin mang Eza” jawab Naya lemah. Dia sudah terlalu lelah hari ini. Lelah yang betul menyiksanya

Menghela napas lelah, akhirnya Nathan menyudahi perdebatan itu. “hmm… mandi sana bocah!” suruh Nathan dan kembali tenggelam dengan berkas-berkasnya yang sudah menghamburi meja ruang tamu

Tanpa merespon, Naya langsung melangkahkan kakinya kearah kamarnya. Dan meninggalkan Nathan dengan pekerjaannya seorang diri.

Kini naya sudah mandi dan berpakaian lengkap. Merasa tubuhnya kelelahan membuat Naya malas untuk turun kebawah untuk menemui Nathan.

Lagi pula juga Nathan tengah sibuk dengan berkas-berkasnya yang nampak lebih menarik dari keadaan istrinya yang lagi kacau.

“lebih baik aku tidur saja, biar besok kembali segar” monolognya dan mulai merebahkan dirinya kekasur empuknya.

Dan tak lama kemudian mimpi pun menjemputnya.








🍁🍁🍁








“ka, jangan pergi” pinta Naya sambil terisak dihadapan kakaknya dan memeluk tangan itu erat-erat

“maafkan kakak Kay, tapi kakak tidak bisa. Kakak harus pergi” jawab wanita itu dengan perasaan sedihnya karena harus meninggalknan adiknya disini

“iya Kay, maafkan kami karena harus pergi. Kamu baik-baik ya disini” pinta laki-laki itu dengan wajah tampannya

“kami pergi ya Kay, kami menyayangi mu” lirih wanita itu sambil melepaskan rengkuhannya Naya dan memilih pergi bersama laki-laki tersebut.

Mobil itu pun melaju meninggalkan perkarangan rumah sederhana itu. Meninggalakan seorang anak kecil yang terus menangis meraung meminta untuk mereka tidak pergi. Tapi apa daya kalau itu percuma. Apa yang bisa dilakukan anak kecil berusia sepuluh tahun ini, tidak ada.

Sampai akhirya berita itu terdengar sampai telinganya. Dan saat itu juga dia merasa dunianya hancur seketika. Yaitu berita kematian kakaknya yang baru saja pergi meningalkannya.

Dipemakaman pun luka itu masih tergambar jelas diwajahnya Naya, walau dia berhenti menangis namun dirinya terasa kosong.

"Kak Sasya mau ngapain disini?" Tanya Naya dengan senyum cerianya yang biasa

"Kakak mau... mau ngelayat Kay" jawab Tasya dengam senyum canggungnya

"Ouh... Kay kira kakak mau marahin kak El karena sudah ngerebut kak Dimas dari kak Sasya, tapi sayang kak. Karena ka Kaela-nya sudah pergi" seru Naya polos

Mendengar jawaban sederhananya Naya membuat ada sedikit rasa bersalah dan sakit hati bagi Tasya."Eh? Nggak kok Kay, mana mungkin kakak marahin kak El" jawab Tasya masih canggung dan grogi.

Maafkan kakak Kay, kakak menyesal karena sudah melakukan semua itu. Sungguh kakak sangat menyesal karena sudah merenggut orang yang sangat kamu sayangi, gerutu Tasya dihati

Tersenyum miring. "Nggak mungkin ya ka? Nyakitin aja bisa masa marah nggak bisa sih ka?" Tanya Naya masih dengan wajah polosnya lagi

Mendengat itu Tasya hanya bisa diam membisu mendengar perkataannya Naya yang masih kecil ini namun mampu membuat dia sakit dan terpuruk.

Sedangkan Wika, dia tidak mampu berkata-kata lagi mendengar apa yang Naya ucapkan barusan.

Dia paham dan mengerti kalau ini adalah pukulan terberat dan luka terdalam bagi Naya karena dia kehilangan sosok kakak perempuan yang dia sayangi.

“pergi dari sini…. PERGI” seru Naya histeris sambil mendorong Tasya untuk menjauh dari hadapannya

Bullshit! Omongan mu dusta ka, aku nggak akan percaya lagi. Maki hatinya Naya

“sudah Nay, tenangin diri kamu” pinta Ibrahim mencoba menenangkan Naya yang mulai mengamuk. “cepat pergi dari sini” seru Ibrahim dingin terhadap Tasya tanpa menoleh sedikit pun







🍁🍁🍁
Maafkan typo yang masih banyak bertebaran
ya 😊

Pernikahan DiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang