"Cowo itu siapa?" Fathan yang merasa pertanyaannya tidak mendapat jawaban apapun, menolehkan pandangannya ke arah di mana Edwin tadi berdiri. "Shit!" Fathan mengumpat karena Edwin yang tiba-tiba menghilang di sebelahnya.
Disisi lain Aiza sedang berjalan ke arah parkiran dengan seseorang yang di maksud Fathan tadi yang tak lain adalah Haikal.
"Bang tadi liat gak mukanya Nara? lucu banget, malu-malu gitu liat abang" ucap Aiza seraya meraih tangan Haikal yang berjalan lebih cepat darinya. "Jangan cepat-cepat bang, Adek gak bisa ngimbangin langkah kaki abang nih" lanjut Aiza seraya sedikit mengeluh dan memasang wajah cemberutnya.
"Eh maaf dek, habisnya kamu bahas Nara mulu dari tadi, kan pacaran itu gak boleh dek" ucap Haikal kepada Aiza.
"Astagfirullah bang. Maksud Adek bukan nyuruh Abang pacaran. Adek kan cuma bilang wajahnya Nara tadi lucu gitu, malu-malu liat Abang. Lagian kata Umi, suka itu wajar bang, tapi jangan terlalu di pikirkan, karena belum waktunya. Adek juga tau kok pacaran itu gak boleh" jawab Aiza dengan lembut seraya mengambil helm yang di berikan Haikal padanya, karena mereka telah sampai di parkiran.
"Iya Adeknya Abang memang masih gak boleh mikirin cowo. Masih kecil! masih manja juga! dan bisa menimbulkan Zina!" ucap Haikal seraya menyentil pelan dahi Aiza.
"Astagfirullah bang, memang Adek mau ngapain sampai bisa nimbul Zina? Ah Abang nih, suka banget ngajak Adek debat, nanti kita di tungguin sama Umi, sama Kak Hanum di rumah. Abang lupa ya? Umi sama Kakak mau belanja bareng Adek" ucap Aiza sambil menaiki motor Haikal dengan bantuan tangan Haikal.
"Pelan-pelan dek naiknya. Pegangan Abang." ucap Haikal. "Abang ingat kok, ini juga dari tadi Kakak ngirim pesan ke Abang mulu, nyuruh cepat pulang" lanjut Haikal.
"Aiza lebih suka Abang yang diam aja deh, dari pada yang banyak bicara. Benar kata Kakak, Abang cerewet." ucap Aiza pelan.
"Abang dengar dek, jangan jadi Adek durhaka ya, ngomongin Abang begitu." ucap Haikal seraya menjalankan motornya di kecepatan rata-rata keluar dari sekolah. "Pegangan dek" lanjutnya.
'Astagfirullah, ampuni dosa Aiza. Aiza gak mau jadi Adek durhaka.' doa Aiza dalam hati.
****
"Assalamu'alaykum" ucap Haikal dan Aiza berbarengan saat memasuki rumah minimalis milik kedua orang tuanya.
"Wa'alaykummussalam" jawab Umi dari dapur yang mendengar salam dari luar.
"Umi masak di dapur?" ucap Aiza yang sedikit meninggikan suaranya agar Umi nya mendengar suaranya.
"Engga sayang, Umi hanya mencatat keperluan dapur yang mulai habis. Bagaimana di sekolahnya?" tanya Umi saat melihat Aiza yang mendekatinya.
"Baik Umi. Tapi tadi di kelas Adek, ada murid baru" ucap Aiza seraya membantu Umi nya melihat bahan-bahan dapur yang di anggapnya tidak akan cukup sampai bulan depan.
"Oh ya? laki-laki apa perempuan dek?" tanya Umi seraya menarik lembut Aiza, mengajaknya duduk di meja makan. Ini lah yang selalu terjadi di setiap hari nya Aiza pulang sekolah. Ia akan bercerita apapun yang di lakukannya di sekolah, karena Aiza tidak ingin ada hal yang ia sembunyikan dari Uminya. Berbeda dengan Kakak dan Abangnya yang menceritakan hal-hal penting saja. Hanum dan Haikal tidak terbuka seperti Aiza.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf, Saya Menyimpan Rasa
Teen FictionYa Allah, apakah saya berdosa menyimpan rasa? Apakah berdosa melihat senyum manis yang terkesan dingin, namun selalu menarik perhatian? Jujur saja, saya sangat takut dengan perasaan ini. Saya takut, perasaan ini membawa saya jauh akan surga-Mu. - Ai...