Jemarinya terkepal kuat di atas pangkuan, menahan geram ingin melayangkan beberapa tinju pada wajah manusia sinting yang ada di hadapannya saat ini.
Sebut saja pagi ini adalah pagi yang buruk, sangat buruk. Jeon Meira tidak tahu lagi bagaimana harus mendeskripsikannya. Entah sudah berapa umpatan yang ia rapalkan dalam hati.
Memang kurang bagus menyambut pagi yang cerah ini dengan ratusan umpatan kekesalan.
Tapi mau bagaimana lagi? Hatinya sedah terlanjur dikuasai oleh kobaran emosi.
Bisakah seseorang membawanya pergi dari sini sekarang juga?
Meira benar-benar muak. Bahkan sepiring samgyeopsal yang tersaji di hadapannya mendadak terlihat tidak enak. Padahal itu salah satu makanan kesukaannya.
Ajaib sekali. Orang yang tengah duduk di hadapan Meira saat ini berhasil membuat nafsu makannya hilang entah ke mana.
"Kurasa ini bukan menu murahan, sehingga membuatmu tidak mau memakannya. Kenapa? Mau pindah ke restaurant yang lebih mahal?"
See?
Dari caranya berbicara saja sudah mampu manarik minat Meira untuk mencincang tubuh itu hingga hancur lebur.
Huft, rasa-rasanya, Meira sudah seperti iblis saja.
Gadis itu hanya berdecak malas tanpa berminat untuk menimpali ucapan Jimin.
"Ck. Makan, Meira! Kau pikir aku membeli semua ini menggunakan daun?" Jimin mendumal di sela-sela kunyahannya. Berbeda dengan Meira yang sama sekali belum menyentuh makanannya, pribadi dengan balutan kaos hitam polos yang dipadukan dengan jaket denim itu justru memakan hidangan yang tersaji di hadapannya dengan begitu lahap, nasi yang ada di mangkuknya bahkan sudah hampir habis.
"Kau tidak menyukai makanannya? Lalu apa yang kau inginkan?" Jimin bertanya lagi.
"Memukulmu!" Galak sekali nada suaranya.
"Kau bisa berakhir menjadi tahanan kalau sampai memukul orang disini." Jimin nampak santai menimpali ucapan Meira.
"Tak masalah, keluargaku memiliki uang yang cukup untuk menghapus namaku dari daftar tahanan." Raut wajahnya semakin datar, mungkin sudah mampu menyaingi papan triplek.
Jimin berdecih pelan, "kau pikir uang bisa menyelesaikan segalanya?"
"Kenapa tidak?"
Jimin berdecak. "Lekas habiskan makananmu, pendengaranku sangat terganggu oleh suara para cacing yang sedang berdemo di dalam perutmu itu. Setidaknya kau harus memiliki sedikit rasa kasihan terhadap mereka."
Meira melotot dan reflek menyentuh perutnya. Apakah perutnya mengeluarkan bunyi?
Jimin menyungging senyum. Lucu juga.
"Ini, makan. Supaya cacing-cacingnya gemuk di dalam sana." Celoteh Jimin sambil meletakkan beberapa lauk pada mangkuk nasi Meira.
Katakan saja Jimin itu tipikal laki-laki yang humoris. Jarang serius. Meski ia tahu Meira sedang kesal dengannya tapi Jimin tak mau ambil pusing. Dibawa santai saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Park Jimin
FanfictionJeon Meira tak pernah mengira bahwa dirinya akan dipersunting oleh seseorang disaat umurnya baru menginjak 19 tahun. Berdiri diatas altar pernikahan ketika umurnya masih semuda itu terasa begitu aneh. Belum seharusnya. Ini perjodohan. Kolot memang...