Meira benar-benar tidak ingat bagaimana dirinya bisa berada ditempat ini, lagi.
Iya. Tempat yang sama. Yang bernama Valhalla.
Kali ini Meira berhasil masuk kedalam. Yang ia dapati pertama kali adalah bangunan megah. Terlihat indah dan misterius secara bersamaan. Akan tetapi kesan misteriusnya lebih mendominasi.
Meira memperhatikan tempat tersebut dengan saksama. Pilar-pilar penopang atapnya berbentuk berupa tombak, atapnya sendiri terbuat dari kumpulan perisai.
Disetiap lorong terdapat patung kuda yang seolah sedang berjaga, padahal itu benda mati tapi entah kenapa Meira merasa seperti diawasi.
Selama berjalan menyusuri salah satu lorong yang ada ditempat itu, Meira merasakan sesuatu yang tidak asing, ia seperti sudah pernah datang ketempat ini. Akan tetapi jika ia memaksa kepalanya untuk mengingat kembali, ia tak bisa, Meira tak menemukan ingatan apapun tentang tempat yang bernama Valhalla. Hanya saja, ini terasa seperti deja vu.
Meira terus berjalan menyusuri lorong yang entah akan membawanya kemana, sampai ada sebuah suara yang samar-samar terdengar, yang membuat Meira berhenti seketika.
"Kau memang seharusnya berada disini."
"Kembalilah."
"Disini tempatmu yang sesungguhnya. "
Meira melihat kesegala penjuru arah untuk menemukan sumber suara itu, akan tetapi ia gagal menemukannya. Suara tersebut bahkan tak bisa Meira tebak apakah itu suara perempuan atau laki-laki.Tempat ini begitu aneh, bahkan lorong yang ia lewati seperti tak berujung.
Mengenai suara-suara itu, Meira tidak tahu pastinya apakah itu memang ditujukan pada dirinya atau mungkin untuk orang lain yang juga sedang berada di tempat ini.
"Kau memang seharusnya berada disini."
Suara itu kembali terdengar. Tak hanya sekali, melainkan berkali-kali.
Pendengaran Meira seakan berdengung. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menutup telinga. Punggungnya ia pasrahkan pada salah satu pilar yang ada didekatnya.
"Kau memang seharusnya berada disini."
"Kau memang seharusnya berada disini."
Meira memejam kuat, berusaha untuk mengabaikan suara-suara itu yang rasanya seperti akan menghancurkan indera pendengarannya. Meira sama sekali tidak mengerti apa maksud dibalik semua ini.
Tubuh Meira gemetar, matanya memerah, nyaris menangis.
"Kau memang seharusnya berada disini."
"Jangan lari."
"Kau harus tetap disini."
"Jeon Meira!"
Tubuh Meira tersentak hebat, ia langsung terbangun dengan posisi duduk. Jantungnya berdegup kencang, bahkan tubuhnya terasa dibanjiri oleh keringat.
"Meira, kau bermimpi buruk lagi?"
Meira menoleh kesamping, mendapati Jimin yang tengah memandangnya dengan tatapan khawatir.
Tadi itu Jimin yang memanggil Meira. Ia sengaja membentak agar gadis itu segera terbangun.
Awalnya Jimin memang sudah tidur namun ia tiba-tiba bangun karena merasakan adanya pergerakan pada ranjang. Ketika ia menoleh kearah sang istri, gadis itu terlihat begitu gelisah dalam tidurnya, Meira juga mengeluarkan rintihan-rintihan kecil, kepalanya bergerak kekanan dan kekiri seolah ada sesuatu yang mengusiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Park Jimin
FanfictionJeon Meira tak pernah mengira bahwa dirinya akan dipersunting oleh seseorang disaat umurnya baru menginjak 19 tahun. Berdiri diatas altar pernikahan ketika umurnya masih semuda itu terasa begitu aneh. Belum seharusnya. Ini perjodohan. Kolot memang...