Jimin bilang alasannya tiba-tiba mengajak pulang karena laki-laki itu baru ingat bahwa malam ini akan ada yang datang mengirim meja, dia sempat memesan sekitar dua hari yang lalu dan baru dikirimkan hari ini. Awalnya Meira tidak percaya, sebab Jimin tadi terlihat begitu panik sekaligus khawatir, rasanya kurang masuk akal jika alasan dibalik itu hanya karena masalah kedatangan meja. Namun ketika beberapa menit setelah mereka sampai di rumah dan benar-benar ada yang datang membawa meja, barulah Meira percaya. Namun di satu sisi entah kenapa ia tetap merasa seperti ada yang aneh.
Jimin juga mengatakan bahwa dia sakit perut. Awalnya Meira juga sedikit tidak percaya namun ketika melihat Jimin yang langsung merebahkan diri pada ranjang dengan erangan lirih yang keluar dari mulut laki-laki itu membuat Meira mau tidak mau harus menaruh percaya.
Setelah mengambil minyak pereda rasa sakit di kotak obat yang ada di dapur Meira lekas kembali menuju kamar, menghampiri Jimin yang meringkuk di atas ranjang.
"Oleskan ini pada perutmu agar rasa sakitnya mereda." Meira menyodorkan botol minyak itu pada Jimin yang mulai merubah posisinya menjadi terlentang kala melihat kedatangan Meira.
"Kenap tidak langsung mengoleskannya untukku?"
Bibir mungil itu berdecak terang-terangan tanda sebuah penolakan. "Kau punya tangan untuk melakukannya sendiri, Jim." ujarnya sembari menatap Jimin malas.
Jimin mencebik. "Harusnya kau menunjukkan perhatianmu."
"Belajarlah mandiri."
Jimin mengerucutkan bibir seperti anak kecil. Meira yang melihat itu hanya bisa melipat bibir ke dalam guna menahan tawa yang hampir lolos.
Ketika Jimin menaikkan bajunya, saat itu juga Meira langsung berbalik memunggungi Jimin, tapi masih tetap duduk di sisi ranjang.
Jimin yang menyadari akan hal itu pun lantas berujar. "Aku tidak melarangmu untuk melihat perutku. " godanya.
Meira buru-buru menjawab. "Aku memang tidak tertarik untuk melihatnya."
"Harusnya kau tertarik. Aku punya enam kotak, ngomong-ngomong."
Ya, Meira sudah tahu karena saat di bath up tadi ia sempat melihatnya sekilas dari balik baju singlet tembus pandang yang Jimin kenakan. Astaga, matanya sudah tidak suci lagi!
"Sudah." ucap Jimin setelah mengoleskan minyak pada perutnya, hanya sedikit, karena rasa sakit yang ia katakan hanyalah bualan semata.
Meira berbalik hati-hati, sempat melirik sebentar melalui sudut matanya——memastikan apakah Jimin sudah menutupi perutnya atau belum. Dan ia bisa bernafas lega ketika dilihatnya laki-laki itu memang sudah menurunkan bajunya kembali.
Bersamaan dengan itu, Jimin menarik tangan Meira secara perlahan untuk diajak berbaring di sebelahnya. Meira tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan. Jimin tersenyum melihatnya.
"Maaf ya." ujar Jimin tiba-tiba. Tangannya bergerak untuk membawa Meira ke dalam pelukannya.
Meira tak menolak, membiarkan Jimin mendekap tubuhnya. Oke, kali ini ia tak bisa berbohong, pelukan Jimin memang menghantarkan sebuah kenyamanan yang sangat disayangkan jika ditolak.
"Maaf perihal apa?" tanya Meira, ia sedikit mendongak agar pandangannya bisa menjangkau wajah Jimin.
"Karena tiba-tiba mengajakmu pulang , padahal makananmu tadi belum habis. Kau masih lapar ya? Kalau iya akan kupesankan sekarang." Terdengar begitu perhatian hingga membuat Meira diam-diam menyembunyikan senyumnya.
Gadis itu menggeleng pelan. "Aku sudah cukup kenyang."
Dahi Jimin berkerut. "Cukup keyang?" Dia terlihat tidak setuju dengan jawaban Meira. "Aku ingin kau kenyang, bukan hanya 'cukup kenyang,' akan kupesankan makanan lagi. Perutmu harus terisi dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
He Is Park Jimin
FanfictionJeon Meira tak pernah mengira bahwa dirinya akan dipersunting oleh seseorang disaat umurnya baru menginjak 19 tahun. Berdiri diatas altar pernikahan ketika umurnya masih semuda itu terasa begitu aneh. Belum seharusnya. Ini perjodohan. Kolot memang...