--Owari--

161 10 3
                                    

Tidak ada yang terjadi. Kedua sosok itu, ah lebih tepatnya sosok berambut merah itu diam tanpa suara. Tubuhnya mematung. Tidak bisa beranjak. Bahkan untuk pertama kalinya seolah dia bisa merasakan bagaimana efek dari 'emperor eyes' yang justru mengenai dirinya sendiri. Tubuhnya kaku. Tak bisa digerakkan. Bahkan saat gadis itu pergi. Sesuatu dalam dirinya berteriak. Meneriakinya untuk berlari. Mengejar si gadis yang pergi dengan langkah penuh kesungguhan. Tanpa keraguan. Meski sungguh si rambut merah tidak menyukai drama picisan, tapi entah bagaimana... detik itu, dia mengutuk kedua kakinya yang mendadak beku. Kaku. Seolah terpaku kedasar bumi. Tidak bisa digerakkan saat justru ingin sekali dia bergerak. Mengejar langkah pendek gadis itu.

Dan sayangnya, seperti yang diucapkan gadis itu. Seperti janji gadis itu padanya di malam saat gadis itu sakit. Gadis itu benar-benar akan pergi jauh. Meninggalkan Tokyo--ah Jepang maksudnya--dan tidak akan pernah muncul lagi dihadapannya. Gadis itu benar-benar pergi. Meninggalkannya tanpa memberi kesempatan buat mengatakan sesuatu yang juga ingin ia ucapkan sebagai dirinya sendiri. Bukan hanya sosok lain di dalam dirinya.

.

.

.

Langkah tergesa. Kaki berjalan cepat sembari sebelah tangan mengencangkan tas punggungnya. Langkah itu tergesa melewati bandara. Bandara Narita padat seperti biasanya, dan sosok itu berjalan cepat sembari menempelkan benda persegi di telinganya. Menghubungi seseorang.

"Ya aku sudah sampai, tidak, tidak. Tidak usah menjemputku, aku akan segera ke sana secepatnya!" Sambungan telepon segera ia putuskan bersamaan dengan kembali disimpannya benda persegi tersebut kedalam tas punggung lalu berjalan memasuki bus khusus yang akan membawanya menuju tempat tujuan. Dia harus bergegas.

Bus melaju dengan tenang. Membelah jalanan Tokyo. Sosok itu menyandarkan kepalanya. Kedua bola mata itu menatap keluar jendela bus. Ada binar kerinduan disana. Ada gemerlap yang nyaris meredup, namun tidak pernah kehilangan pendarnya. Dia berhenti tepat di halte yang dulu sering ia datangi. Jalanan sudah berubah. Ah. Tentu saja semuanya berubah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar sehingga perubahan yang ia rasakan cukup kentara. Hari ini, setelah lima tahun lamanya dia tidak pernah menginjakkan kakinya di Tokyo, akhirnya dia kembali. Mungkin, lima tahun ini hanya dirinya saja yang tidak banyak berubah. Nyaris tidak ada yang berubah darinya. Dia masih gadis yang tidak bisa berinteraksi dengan laki-laki kecuali para sepuh dan anak kecil. Dia masih sama seperti lima tahun lalu.

Kedua kaki ia langkahkan. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit buat sampai di rumahnya. Rumah yang sudah ia tinggalkan lima tahun lamanya. Nafasnya perlahan menyesak tatkala dapat dilihatnya sebuah bangunan rumah kaca yang berada tepat disamping rumahnya. Peninggalan Maehara obaa san yang kini diambil alih oleh Takahara Rin. Menghela nafas panjang. Sosok itu memejamkan mata sedetik untuk sekedar mengumpulkan kembali kesadarannya. Meski dalam hati dia berdoa sepenuhnya agar tidak mengingkari janji yang lima tahun lalu dia buat.

"Keennnn chaaannn!!!!!" Teriakan khas mulai terdengar nyaring tatkala ia sudah berada beberapa meter dari rumahnya. Kana masih sama. Masih bersemangat dan selalu berteriak.

Kana berlari buat menghampirinya, meski sungguh padahal dia akan segera tiba disana. Pelukan erat ia terima tanpa ampun hingga tubuhnya mundur beberapa langkah untuk menahan serangan tiba-tiba Kana.

"Aaa... aitakataaaa... uchi no Ken chan!!! Hidoi na! Kau tidak pernah pulang selama lima tahun tahun ini!" Bahasanya berantakan. Bahkan sosok itu bisa merasakan baju bagian belakangnya basah. Dia terkekeh pelan. Menepuk pundak Kana lembut. Menenangkannya.

"Tadaima, Kana..." ucapnya pelan. Kana semakin terisak. Ucapan yang ia rindukan dari sosok yang sudah dianggapnya seperti saudara.

"Hm.. okaeri ShuichirAho Ken chan" keduanya tertawa.

OnlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang