Bab 1

1.1K 47 2
                                    


Kalau aku bilang aku enggak peduli dengan hasil pertandingan ini, bisa-bisa seisi lapangan mengikatku pada tiang gawang lalu membakarku untuk sesajen pada Dewa Bola.

Oh, ya. Reaksi seisi lapangan akan seekstrim itu.

Pertama, ini babak semifinal. Kalau sekolahku berhasil ini akan jadi sejarah baru setelah lima tahun berturut-turut sekolahku gagal di penyisihan. Akhirnya, SMU Harapan Bangsa punya kesempatan meraih juara.

Berbahaya sekali saudara-saudara. Kevin membawa bola dan... ah, sayang sekali.

Aku menudungi mataku dengan tangan, memperhatikan Kevin mengerang kesal. Dari arah belakang, Damar berlari kecil lalu menepuk punggung Kevin. Dua cowok itu kembali ke posisi masing-masing.

Alasan kedua, sebagai manajer klub sepak bola, perkataan pesimis pantang keluar dari mulut manajer klub. Kata Pak Wijaya, pelatih kami, kata-kata punya kekuatan. Jadi aku harus selalu meneriakkan semangat.

Pertandingan tersisa lima menit lagi. Skor satu sama. Siapakah yang akan memenangkan pertandingan ini?

"Hei." Suara itu bercampur dengan riuh penonton. Asalnya dari arah atas, bangku-bangku di tribun penonton. Jelas sekali ditujukan padaku.

Oh ya ampun. Tanpa menoleh, aku sudah tahu siapa yang berteriak. Kuraih botol minum di sampingku, dengan penuh perhatian kuteliti labelnya. Aku memasang tampang pura-pura terkesan yang mengatakan hm... bagus sekali ya logonya.

Tampaknya akan adu pinalti. Bagaimana nasib SMU Harapan Bangsa?

"Gia."

Bola berpindah, saudara-saudara. Kevin menghadang dan... ah sayang sekali, berhasil direbut.

"Manajer!" Kali ini suara feminim itu bercampur dengan nada kesal.

Aku menarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan. Bodoh sekali aku berharap cewek ini akan menyerah. Aku menoleh, tersenyum manis. Tentunya penuh kepalsuan.

Dari atas tribun, Aurora menatapku galak. Di sebelahnya, Lisa menatap penuh antusias ke lapangan, tenggelam dalam dunianya sendiri. Dia sama sekali tidak sadar di sebelahnya Aurora mencondongkan badan, berpegangan pada pagar pembatas, dan berteriak. "Minumnya satu, dong."

Aku mengerjap. Telingaku tidak salah tangkap, kan?

Okaaay. Minta atau malak, nih?

"Cepetan, aku haus banget." Mukanya cemberut.

"Sebentar, aku hitung dulu." Kubuka tutup cool box. Aku mengerutkan dahi seolah ini adalah keputusan luar biasa menyangkut keamanan dan kemakmuran bangsa padahal botol air mineral di dalamnya masih tersisa banyak. Aku cuma mengulur-ulur waktu sebisaku karena pada akhirnya Aurora bakal mendapatkan apa yang dia mau.

"Buruan."

Aku mengambil satu botol air putih, melempar ke tribun. Sedikit asal-asalan agar meleset dari jangkauan Aurora, jatuh dari jangkauan tangannya.

Aurora mendelik. "Yang benar, dong."

"Ups, maaf." Kataku tanpa merasa bersalah. Aku kembali duduk, berharap cewek-cewek centil di belakangku tidak menggangguku lagi.

Ah, sampai mana tadi? Alasan kenapa SMU Harapan harus memenangkan pertandingan ini... yang ketiga, karena Kevin janji mau mentraktirku di Grill 'N Shake.

Minggu lalu, di lapangan sekolah aku menemani cowok itu latihan. Kevin berlari-lari keliling lapangan sampai kecapekan sementara aku mengerjakan PR di bangku panjang. Aku ingat aku mencebik sebal karena tidak ada meja dan setelah setengah jam menulis beralaskan paha, otot-ototku mulai pegal. Kevin menghampiriku, menggeletakan badan di dekat tempatku duduk.

Diam-Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang